Hujan sudah turun berbulan-bulan, bahkan
angin ikut beraksi. Matahari seperti dipaksa hibernasi. Manusia menjadi enggan
pergi jika tak ada yang pasti. Entah bagaimana asal mulanya atau mungkin aku
sudah tercipta sedemikian rupa bisa menikmati fenomena alam ini.
Saat sebagian langit meredup kelabu, aku
dan kawan-kawan siap berpesta pora layakanya manusia yang sedang berbahagia
mendapatkan sesuatu yang istimewa.
Satu, dua, bahkan tak terhingga titik
air jatuh membuatku gaduh. Seperti deretan musik perkusi ditabuh, Aku dan
kawan-kawan siap berpesta tanpa jenuh.
Menikmati hujan berarti menikmati
kebahagiaan dan kebebasan. Ini hanya berlaku untukku dan kawan-kawan. Mungkin
ada segelintir manusia atau spesies lain dapat menikmatinya.
Pernah ku lihat manusia berlarian sambil
merentangkan tangan seperti burung yang siap berkelana. Begitu ceria membiarkan
badannya kuyup terguyur semesta. Rasanya aku ingin mengajaknya berpesta
bersama.
Tapi, tidak ! dia bisa menjerit terbirit-birit,
atau memukulku dengan kayu. Namun bisa lebih tragis, melindasku dengan sepatu.
Jadi biarkanlah dia sendirian bergaduh.
Guyuran semesta menghilang, aku harus
menghilang. Jika tidak mungkin nyawaku melayang. Diterkam mangsa yang mabuk
kepayang atau terjebak dalam kotak para bocah yang beraksi layaknya pawang.
Bersembunyi dibalik dedaunan, dipinggir
kolam atau di kolong selokan lumayan aman. Namun saat mata-mata jeli membongkar
tak ada pilihan, menjadi tawanan atau santapan. Menjadi santapan, karena kami
memang bagian dari rantai makanan. Menjadi tawanan, Kami juga bagian dari
penelitian.
Bersenandung tentang alam,
Melompat bebas,
Bersembunyi di balik batu dan dedaunan,
Menidurkan berudu-berudu di teratai,
Bercengkerama dengan semesta.
Itulah cerita si penikmat hujan.
(Angelina Ratih Devanti, 2 Januari 2015,
terinspirasi dari hujan dan seekor katak di teras rumah)