Tangan yang tak pernah mau diam saat sedang berdiam. Jadilah kerjaan iseng ini, paduan sketsa dan bidikan kamera |
Wednesday, January 8, 2014
Sketch on Sketchealing Book
Parfum dan Kentut
Angin segarmu itu hanya kamflase kentut yang kau semprot
dengan parfum murahan. Kau harus menyemprotkannya ketika hidungku ragu bau apa
yang sedang terhirup., dan saat cairan parfum murahmu menipis saat
itulah bau busuk semakin menyengat dan akhirnya aku tahu, wewangian apa yang
selama ini tercium. Angin segar yang tidak nyata segar tapi terkontaminasi
kamuflase-kamuflase yang kau buat. Ya itu bukan angin yang menyegarkan nafasku
yang sedang sangat butuh oksigen.
Sekarang aku harus balik bertanya atas tanyamu, mengapa
aku harus beralih? Karena aku butuh udara segar untuk membantu nafasku yang
pendek dan nyaris terhenti karena terlalu
banyak karbondioksida yang menyiksa jiwa.
Dan itu yang tidak kau tahu.
(Angelina Ratih
Devanti, 24 Januari 2013)
Piano dan Celo
Dua pasang tangan beradu dengan
lagu
Menggubah yang sendu menjadi haru
Mencairkan yang beku menjadi
berseru
Paduan senar dan tuts berpacu
menyatu
Mengurai semu menjadi sesuatu
Bow berkelana menggesek asa
Tuts menari membawa tawa
Melodi berlari mengejar paduannya
Membawa nada dan doa
Dentingan mengayun senang
Petikkan turut melayang
Membangkitkan yang terbuang
Untuk menjadi pemenang
Lagumu belum berakhir
Resitalmu tetap mengalir
membawa cerita ke hilir
(Angelina Ratih Devanti, 11 Desember 2012, dini hari)
Gradasi
(by : Angelina Ratih Devanti, 25 -30 juli’11)
“ Coba
tambahin line sedikit deh, Van.”
“ Di bagian
mana ?” tanyaku melongo.
“ Ehmm..??” ,
mata Bet berputar menilik setiap detail sketsaku, mencari bagian yang perlu
dipoles.
Kami terus
berkutik, tepatnya aku yang bergidik dengan rupa ini. Bet terus saja berceloteh
mengomentari hasil kerja si tangan iseng ini.
“ Av, ehmm..?
yang ini lebih keren, gue suka, poles sedikit ya pakai drawing pen.”, Bet menoleh pada rupa yang lain. Aku, yang sejak
tadi dipanggil secara tidak konsisten olehnya hanya manggut-manggut.
“ Coba main
pakai warna biar lebih colorful. ”
Aku menelaah
celotehan-celotehan Si ‘Editor’ dadakan dalam proyek desain iseng-iseng ini.
Bukan masukan tentang ‘ilmu ‘ seni yang kutelaah, tapi kata sapanya yang
lagi-lagi tidak konsisten, kadang “Av”
kadang “Van”, tapi ya sudah lah. Kalau dia menyapa lengkap ‘Avanti’ akan jadi
panjang, jadi biarlah dia mau memotong namaku diawal atau diakhir.
Kembali pada
kertas-kertas yang ada di depanku, Bet masih membidik beberapa hasil kerja
tangan isengku. Beberapa kali Bet berkomentar dan memberi masukan untuk
membubuhkan warna-warna lain. Ya memang aku sedang menggunakan 1 warna saja,
hanya menggunakan media yang ada untuk karya isengku ini. Permainan gradasi
dari warna hitam; hitam pekat, hitam sedang, abu-abu, dan putih pucat yang ku
toreh di beberapa sketsa. Tak ada variasi warna lain disana.
“Van, ini
pakai cat apa, pekat sekali hitamnya?”, tangannya mengambil sketsa gentong yang
terintip dari tumpukkan sketsa lain.
“ Bukan, itu
tinta bak”
“Bagus
gradasinya, Ehmm… cuman yang ini nge-blok-nya ketebalan, mestinya bisa di pecah
lagi jadi 4 lapis.”, Bet menopang
dagunya sembari terus membidik kertas bersketsa.
“ Ehmm..?
Ok”, aku berpadu dengan bingung dan datar
Aku
sebenarnya bukan seorang pelukis hebat . Ya mungkin darah seniku hanya setengah bahkan seperempat
yang menurun dari para tua-tuaku. Tapi aku sangat menikmati seni dan ingin
berseni. Dan bukannya aku tidak menyukai warna, tapi entah mengapa saat ini aku
menikmati pembauran warna hitam dalam
gradasi. Disela waktu bebas aku sering iseng berkreasi, jadi bersiaplah saja
apapun yang ada di sulap oleh si tangan iseng. Bet yang selalu menjadi penasehat untuk karya-karya iseng
ini.
Sebuah tangga nada tergurat diatas kertas.
Secara berulang aku menorehkan wujudnya sehingga tergambar samar berbayang.
Setelah sekian lama aku bermain bersama deretan warna, kini pensil dan pena
yang menjadi andalanku. Dalam sketsaku hanya 1 warna yang memberikan banyak bayangan.
Bet yang juga sedang mengerjakan proyeknya sesekali melirik dan berceloteh.
Sudah beberapa tahun Bet menemani dalam karya-karya khayalku. Bahkan sepupuku
ini beberapa kali menorehkan lukisannya
untuk sampul buku-ku
J
Kaki bebasku
melangkah mantap menyusuri pelataran pameran seni. Aku tak sabar menikmati
hasil kerja tangan iseng Bet di barisan gerai. Ku bidik satu demi satu dinding
partisi yang dipenuhi hasil karya tangan para seniman. Tepat di bawah karya,
tertulis penjelasan singkat tentang ; judul karya, si pencipta, dan cerita atau
pun proses kreatifnya. Menakjubkan. Warna-warni tertuang, bahkan media lukisnya
pun beragam. Sebuah lukisan unik terpajang, aku menilik pada papan namanya,’
Santai Sore’ yakni lukisan toples
berisikan permen atau kue kering, yang kulihat seperti itu, dengan 2 cangkir teh. Objek-objek itu
tergurat dengan warna dari berbagai
macam bumbu dapur, beberapa menit aku berdiam di depan lukisan itu mengamati
tiap detail warna dan sketsanya.
Pencarian
karya tangan iseng Bet teralihkan kembali. Kaki bebasku hinggap berpijak di
depan sebuah lukisan berjudul ‘ Dawai Tak Terpetik ‘. Ukurannya hanya seukuran
kertas A4. Mataku terus mengamati wujud dalam lukisan itu. Sebuah sketsa gitar
dengan senar-senar yang merenggang, bahkan sebuah senar terputus. Sketsa
digoreskan berulang-ulang sehingga menghasilkan ruang untuk memoles pecahan
warna hitam. Ku lihat di sana hanya ada satu warna, hitam. Hitam yang di pecah
menjadi tingkatan warna gelap pekat, abu-abu redup, arsiran tipis, dan putih pucat. Saking menikmatinya aku
teringat karya-karya isengku yang pastinya masih kalah dengan lukisan ini.
tetapi yang paling membuat tersontak adalah wujud yang terlukis, membuat
memoriku memutar ke tiga tahun silam. ketika dulu aku kehilangan kesempatan
menikmati gubahan nada dari musisi favoritku dan sampai sekarang aku tidak tahu
kapan musisi itu akan beraksi kembali.
…
“ Heh.
Bengong”, mendadak Bet sudah berada disampingku. Entah kenapa setelah aku
menghadiri pameran seni Bet bersama kawan-kawan seninya, pikiranku seakan belum
pulang dan masih berdiri di depan lukisan gitar bergradasi. Bet ikut
terbengong, tapi bukan persoalan tentang lukisan gitar itu
“ Kenapa ?”,
tersadar dari ke’bengong’an ku, aku beralih heran melihat Bet.
“ Hah ?”,
tersadarlah Bet.
“ Kenapa
ikut-ikutan bengong ?”, tanyaku heran.
“ karena lu
bengong, kenapa?” dan kami saling terheran-heran. Aku bungkam tentang hal ajaib
apa yang tadi ku temui sehingga membuatku terbengong begini.
“ Tumben
nggak coret-coret”, Bet heran melihat kertas-kertas di depanku tidak berserakan
seperti kemarin, hanya laptop putih yang menyala dengan tampilan layar kosong. Hanya hembusan nafasku saja
yang menjawab ucapan Bet. Sepertinya pikiranku belum kembali dari pameran seni.
J
“ Vantiiii…”,
suara dari seberang sana seakan meledak memekakkan telingaku. Suara siapa ini
tak harus teriak-teriak begini kan, kesalku mencuat.
“ Siapa nih
!”, nada ketus pun tercetus.
“ ih… Falla
tauu..! aku punya 2 tiket, mau ?”,
sebuah penawaran datang dari salah satu teman dekatku di choir dulu. tapi apakah itu
sampai membuat telingaku heboh ?
“
pertunjukkan musik, kamu nggak bakal nyesel deh !”, belum bersuara, Falla sudah
bersua.
“ besok
ketemu ya, ambil tiketnya jangan lupa ! “, suaranya semakin mendominasi.
Satu huruf
pun belum sempat keluar dari mulutku, Falla si sopranis, lenyap menghilang.
Akhirnya aku bertanya-tanya sendiri, tiket apa ? besok mau ketemuan dimana ?
pertunjukan musik ? apa sih ? Selang beberapa menit setelah Falla
berteriak-teriak di ponselku, dia mengirim sebuah pesan singkat yang membuatku
tersentak takjub seperti mendapatkan sekoper uang, sekarung berlian ditambah
dengan sebuah mobil sport termahal. Pikiranku semakin penuh dan ingin
segera memenuhi tawarannya barusan.
Kembali aku teringat lukisan tadi, aku berpikir geli, kalau aku yang menjadi
pelukis itu, aku akan memberi judul
‘Dawai Terpetik Kembali’. Diliputi rona senang, aku bermain dengan
sketsa-sketsa yang berantakan.
…
Tiga tahun
lalu mestinya aku bisa duduk menikmati gubahannya namun karena kecelakaan kecil
yang berbuntut besar, rumah sakit lah yang harus ku singgahi bukan Gedung Balai
Seni. Di tahun berikutnya aku tak lagi mendengar seruan bahwa musisi favoritku
beraksi, selang berikutnya malah kabar buruk, dia terhempas di ranjang rumah
sakit karena tertimpa bongkahan tiang saat gladi bersih suatu acara, lagi-lagi
tak bisa ku nikmati gubahan nadanya. Aku terus menunggu aksi jemari dengan
gitarnya.
Setiap curhat
pasti terselip keinginanku untuk menikmati pertunjukkan musiknya, sampai
membuat seorang sahabatku, Dev jenuh
mendengarnya. Aku memang sangat mendambakan bisa menikmati petikan terbaiknya.
“ Pas lu
nikah nanti buru-buru deh booking dia buat jadi guess star-nya”, celetukan Dev sudah
kumengerti bahwa dia bosan.
“ hahaa, kan
waktu itu tiketku hangus gara-gara masuk rumah sakit “, jawabku seadanya.
“ lagian
nggak sabaran “, gumam Dev.
“ tenang van,
one day kita pasti bakal menikmati
dia ”, sahut Dorry yang sama takjubnya pada sang gitaris berkarisma itu. Aku
pun sama yakinnya dengan Dorry, suatu hari nanti aku akan menikmatinya, ya ku
nikmati seperti menikmati semangkok es campur, begitu dingin tapi menyegarkan.
“Minta
sekalian dia bikin pertunjukan tunggal
khusus buat lu !“, ucapan Dev semakin ngawur, mungkin telinganya siap disumpel
kapas bertebal 1 cm setelah mendengar celotehan dua sahabatnya yang terkesima
oleh pemetik dawai bernada.
Sosok Derro,
begitulah dia disapa oleh penikmatnya, membuatku takjub dan membuat Dev
mengoceh kesal dengan curhatan tentangnya. Dev kesal karena aku selalu
mengelu-elukan si gitaris muda berbakat yang sudah menyabet beberapa penghargaan. Ya aku memang
takjub dengan karisma bermusiknya. Saat menjentikkan jari pada dawai gitar yang
tajam, dia seakan menyihir penontonnya.
Mungkin penggemarnya pun bukan hanya aku, beberapa karibku pun tak
memungkirinya.
…
Seakan
semuanya kebetulan, aku yang hanya berniat mencari lukisan Bet, tertahan oleh
sebuah Lukisan gradasi, yang
membawa pikiranku berkelana tentang
musisi favoritku dan tiba-tiba, Falla, si sopranis menawarkan tiket
pertunjukkan musik yang tentunya dimeriahkan oleh musisi favoritku. Entah ini
mimpi di siang bolong atau bukan, tapi nyatanya memang bukan. Selangkah lagi
aku akan menikmatinya bersama nada dan irama.
J
Di hari Sabtu
yang biasanya ku padati dengan art class
di ruang inspirasiku, sejenak terhenti. Sketsa Daun belum ku akhiri dengan
permainan gradasi. Sebuah dongeng ‘Permen dan Anak ‘ pun masih menggantung di
kotak fileku. Pertunjukan musik yang membuat rutinitas sabtu seni-ku
teralihkan. Aku tidak akan mau ketinggalan lagi pertunjukan musik dari musisi
favoritku. Lantunan nadanya saja sudah sering berdering di ponselku. Sepertinya
pertunjukan ini akan lain dari biasanya. Biasanya ? baru kali ini aku hadir,
tapi ya sudah lah aku membawa harapan untuk menikmatinya hari iini.
…
Lampu-lampu
penerangan di dalam hall sudah meredup, hanya lampu sorot yang terus ‘ melotot’
di atas panggung. Satu demi satu musisi beraksi. Aku bersama Dorry, partnerku
menonton berbagai pertunjukan seni, mencoba menikmati guabahan nada. Namun rasa
penasaranku tetap mencuat. Mana musisi yang ku tunggu ? sudah dua pianis beradu
‘membanting’ grand piano, disusul violis yang menggesek nada-nada miris.
Setelah
ketiganya berlalu, panggung pun kosong untuk berganti musisi lain. Siapa musisi
selanjutnya yang tampil ? benakku ingin rasanya teriak demikian, padahal buku acara sejak tadi menga-nga di
pangkuanku. Bodohnya, mengapa aku tidak membaca siapa musisi yang akan tampil.
Dalam
khayalku seakan terdengar suara dentuman simbal yang menghantar sang musisi
keluar dari balik panggung dan... itu dia Derian Damaro, yang kutunggu sejak
tiga tahun lalu. Akhirnya secara nyata bukanlah khayalan dalam cerita dia
beraksi. Dia mulai bersuara dengan medianya, gitar coklat mengkilap. Aku dan
Dorry dengan seksama membidik sosoknya. Tapi di dalam sisiku yang lain ada yang
tidak bisa kunikmati. Telingaku terkantuk oleh petikan nada yang dia lantunkan.
Ehmm? Buatku memang cukup datar, entah telingaku yang bodoh tidak bisa menikmati
alunan melankolis dan tak dapat diduga. Mataku menikmatinya beraksi namun
telingaku tak bisa menyaring alunannya. Ya memang, aku hanya penikmat musik
dengan nada-nada yang tentunya berjodoh dengan telingaku. Maaf ya Derro barusan
aku tak dapat menimati alunan nadamu, hanya rupamu saja yang bisa kunikmati
dari tempat duduk ini. Aku mengantuk.
“ Heh heh
!!”, bisikan Dorry membuyarkan tidur kilatku. Untung aku punya kemampuan tidur
dengan berbagai posisi, hanya memejamkan mata aku sudah bisa terbang ke dalam
mimpi tanpa harus merebahkan diri.
“
Bisa-bisanya tidur !”, bisik Dorry kesal.
“ ngantuk. ”,
jawabku datar.
“tuh dia akan
main lagi”
“ Bersiap
tidur lagi aku “, jawabku asal.
“ katanya
udah nungguin tiga tahun, sekarang ada malah tidur “
Iya ya, aku
harus menunggu tiga tahun untuk menikmatinya bersama gubahan nada tapi saat dia
beraksi aku terkantuk, dasar telinga bodoh. Setelah penampilannya tadi entah sudah berapa musisi berganti
sampai akhirnya dia tampil kembali. Aku pun tidak membohongi diri dan menduga,
jangan-jangan alunan datar itu lagi yang datang, tapi aku tetap ingin
menikmatinya. Kini suara petikkannya berpadu dengan dentingan pianis cilik. Aku bisa menikmatinya bahkan telingaku
’asik’ mendengar paduan apik nan riang
“ it’s better
“, bisikku.
“ Huu..”,
cibirannya mencuat.
“ tadi
ngantuk juga kan ?”, timpalku.
“ Nggak” ,
Dorry tak mau kalah
“ matamu
merah, sstt..”, aku langsung membidik kembali sosok 2 musisi yang berapadu.
“ Berarti
tergantung dari lagunya, Van “, bisik Dorry terkekeh.
Petikkannya
tidak lagi terdengar datar dan melankolis, tapi lebih riang. Aku tidak tahu
menahu tentang lagu-lagu yang mereka lantunkan, tapi telingaku sejenak punya
rasa dan tersihir untuk menikmatinya, mungkin kali ini telinga sudah berjodoh
kembali dengan alunannya, tidaklah bodoh
seperti tadi, terkantuk sampai membuatku ‘tidur kilat’.
Pertunjukan
tiga tahun silam yang dibuyarkan oleh si penabarak lari, terbayarkan hari ini
semua berkat lukisan gradasi di pameran seni dan tentunya berkat Falla ’cempreng’
yang memberikan kejutan ini.kesal memang harus menunggu tiga tahun, tapi ku
syukuri. Sejenak khayalku pun beraksi, merasa seakan ada suara yang mengiringi
kelegaan ini, suara flute dipadu denting piano dan tentunya petikkan dari
musisi favoritku.
Panggung tempat para musisi beraksi mendadak
penuh. Mau apa mereka ramai-ramai beradu diatas panggung. Pertanyaaan bodohku
mencuat, jelas lah mau beradu dalam nada. Kubaca buku acara sesi ini hanya
tertulis ‘sureprise performance’,
semakin penasaran rasanya. Mau melakukan atraksi apa mereka. Dari pandangan
mataku, hanya terbidik seorang wanita
paruh baya memegang viola, laki-laki muda sudah terduduk di hadapan grand
piano, dan seorang laki-laki setengah tua siap mengadu mulutnya dengan… Apa
itu? Flute kah? Mungkin saja flute.
Mereka beraksi melantunkan alunan klasik yang
cukup familiar. Aku pernah mendengarnya di sebuah iklan, lagu itu pun pernah
berkumandang ketika kakakku menikah, dan lantunan lagu klasik itu sepertinya
ada di dalam rentetan lagu kompilasiku. Aku berpikir sejanak untuk memastikan
lagu itu, yaa lantunan Canon in D Mayor karya John Pachelbel berkumandang
bersautan. Sesaat mereka terhenti membuat panggung terasa hening. Mungkin ada satu menit mereka terhenti dan
keheningan meledak, oleh suara gitar elektrik Derro. Latar belakang panggung
pun terbuka. Satu set drum bersama penabuhnya membuka suara. Alunan cadas gitar elektrik membawa rasa yang semakin
pekat. Nuansa rock and roll tercipta
oleh paduan elektrik gitar, gebukan drum dan ketiga musisi lainmnya. Kolaborasi
cadas bin trengginas menjadi puncak pertunjukkan musik itu. Jantung ku seakan
bergemuruh mendengar aluanan cadas kolaborasi 5 musisi itu, lengkingan gitar
seakan bisa membangunkan telingaku yang sempat terkantuk. Tepukan pun membanjiri
hall pertunjukkan itu.
“ Waaaahh…”,
mungkin hampir semua mata yang ada di hall itu berespon demikian saking
takjubnya.
…
Efek
terkesima oleh musisi favorit memberi inspirasi baru pada karya-karya isengku.
Mendadak sebuah guaratan tulisan dipenuhi tentangnya. Tak luput juga sketsa
isengku, tertoreh sketsa gitar dengan selipkan tuts piano dan tangga nada.
Tentunya saling bergradasi seperti halnya dia yang bergradasi. Tingkatan warna musik, dia
mainkan mulai dari yang membuatku redup terkantuk, sejenak rileks, sampai yang
membuat jantungku seperti di gebuk. Mendadak dia memenuhi kotak ide untuk
beberapa karyaku.
“ Gosok
bagian dalam gitarnya”, Bet, Penasehat seniku berucap sambil membidik rangkaian
sketsa dalam kertasku.
Sejenak aku
terhenti, memandang lukisan yang kubuat, dan pikiranku pun mencuat, “ Hitam
pekat, redup, terang terarsir” aku lempar senyum pada karya yang ada di depanku. Aku memang bukan
seniman hebat, aku hanya iseng bermain dengan perpecahan 1 warna membuatku terkesima.
“ Nice ! bisa
jadi desain undangan resital tuh! “, editor seniku ini memang paling bisa
membesarkan hatiku.
“ Cuma iseng,
Bet “ jawabku asal.
“ Iseng-iseng
bersama gradasi dari si musisi ?”, ledek Bet. Hanya senyumku yang membalasnya.
J
Seperti
siang-siang sebelumnya, akan ku habiskan bersama dua sahabatku yang sudah 6
tahun bersama, Dev dan Dorry. Setelah berbulan-bulan aku, Dev, dan Dorry tidak
bersua, jam makan sianglah yang kami gunakan. Dev terlihat menghitam, frontal
sekali aku menyebutnya hitam, mungkin 2 tingkat lebih terang dari hitam. Dapat
ku duga dia banyak berjemur di Bali. Sesuai karakternya yang tidak banyak berceloteh, Dev hanya
menceritakan seadanya tentang dia, pekerjaannya, dan Bali. Sementara aku tak sabar
berceloteh tentang kesempatan yang sudah kutunggu sejak tiga tahun lalu.
“ Akhirnya setelah tiga tahun nunggu,
kesampaian juga “, curhatku tentang si penyihir nada.
“ kesampaian
apa ?”, Dev heran mendengarku dan mungkin heran melihatku yang mendadak
sumringah. lalu kutunjukkan buku acara pertunjukan musik yang telah kuhadiri
bersama Dorry. Tapi hanya respon datar yang keluar darinya. Diluar
ekspektasiku, ya tadinya kupikir dia akan mengucapkan selamat atau memberikan
semangat, hmm..sahabatku yang satu ini mendadak
menjadi tak terduga.
“ seneng kek,
apa kek, flat gitu kayak nih..”,
sontak ku ambil sebuah nampan yang tertinggal di meja sebelah dan ku tatapkan
padanya.
“ kan gue
bukan penggemar fanatiknya kayak lu, jadi buat apa seneng ?”, jawabnya.
“ Ah nggak
bisa liat orang seneng “, gumamku kesal.
Sembari
menunggu Dorry yang sedang beraksi dengan fotografi, aku dan Dev duluan
menghajar sajian yang datang. Perut kami sudah terlalu lama berkeroncong.
Laptop putih yang tadi menga-nga sejenak ku tidurkan di dalam case-nya. Aku terus bercerita tentang
pengalamanku menikmati musisi favoritku. Lagi-lagi dengan cueknya Dev hanya
menyuap santapan.Aku pun berubah diam, diam mengunyah nasi kebuli yang tersaji
sambil sesekali melirik makhluk di depanku. Dev lain dari biasanya, sayangnya
dia bukan makhluk perempuan yang bisa ku duga sedang PMS. Sejanak aku berusaha
berpikir dan menduga namun semuanya buyar dengan hadirnya Dorry bersama SLR dan
pocket digicam-nya. Dia melangkah menuju tempatku berada dengan jeperetan
isengnya.
“ Apa ini… apa ini ?! ”, ujar Dev memperagakan
gaya selebriti yang dikerubungi paparazzi.
“ Tuh liat
bagus kan !”, jawab Dorry sambil memamerkan hasil jepretan di kameranya.
“ habis
jepret-jepret dimana, neng ?”, tanyaku dengan mulut masih penuh nasi kebuli.
“ Ah.. aku
lupa ngasih tau, mestinya tadi kamu ikut, aku habis dari galerinya Pak Sugondo
Atmojo”, paparnya senang padaku. Aku terdiam takjup mendengarnya. Dorry habis
berfoto ria di galeri, Seniman bertalenta itu ? kenapa dia tidak mengajakku.
Aku hanya punya lukisannya yang terpampang di dinding ruang tamu, sedangkan
Dorry sudah bertemu langsung bahkan bisa berpose bersama. Sejenak pikiranku
tentang Dev yang sedang aneh teralihkan dengan cerita dan gambar-gambar menarik
dalam kameranya.
“ Oiya.. tadi
ketemu Bianka sapa tuh bianka ?? ”, Dorry mencoba mengingat model cantik yang
diidolakan Dev, sembari tangannya usil mengambil sesuap nasi kebuli dari
piringku.
“ Calista.”,
lanjut Dev sembari menyeruput minuman
hijaunya.entah jus apa yang dia pesan, hijau yang pekat.
“ aku akuin
emang cantik beneran “, ujarnnya sambil mengunyah nasi.
“ Kok nggak ajak-ajak gue”, mendadak Dev
bersuara setelah sejenak diam mengolah makanannya.
“ emang ada
hubungan apa lu sama dia ?”, tanyaku iseng setelah beberapa saat aku acuhkan
dengan cerita galeri dan foto lukisan yang terbidik di kamera Dorry.
“ Ya.. nggak
ada apa-apa sih “, jawabannya kembali datar.
“ udahlah aku
laper mana nih mbaknya?”, Dorry celingak-celinguk mencari si pramu saji.
Obrolan kami terus berlanjut sepanjang makan siang bersama. Tentunya aku masih
diliputi rasa heran bin aneh pada sosok berkemeja hitam di depanku. Beberapa
menit suasana hening, jelas saja kami
bertiga tengah kompak-kompaknya mengunyah santapan, terutama Dorry yang tampak
kelaparan begitu lahap dia makan seperti habis mendaki Gunung Gede semalam
suntuk. Namun karena tersedaknya Dorry, membuka suara di antara kami.
“ Pelan-pelan
“, ucapku.
“ Kalap amat,
habis macul ya ?”, gurau Dev.
“ Uhuuukk..”,
Dorry terbatuk-batuk dan segera asal menyeruput minuman, masa bodoh minuman
siapa yang penting tenggorokkannya lega.
“ Ih..
keselek sih keselek, minum orang diembat juga “, segera Dev meraih minumannya
dengen ekspresi seperti seorang bocah yang permennya direbut orang. Aku hanya
tertawa kecil melihat mereka.
“ kemarin keren, ya ?”, ujar Dorry mengarah
padaku. Aku hanya tersenyum sembari mengunyah santapanku. Lagi-lagi Dev
terlihat datar.
“ hmm.. di
bahas lagi “, gumam Dev.
“ Ih kenapa
sih, sirik ya “, sahutku.
“ orang nggak
ada bagus-bagusnya disukain “, jawabnya datar. Aku dan Dorry saling melempar
tatapan heran
“ kamu sirik
ya nggak ada yang ngefans, makanya jadi pemusik dulu biar fansnya banyak”,
Dorry tidak mau kalah.
“ gue heran
lu berdua sampai segitunya ya tergila-gila, apa bagusnya sih orang nggak
bertanggung jawab kayak dia....”
Dev membuat
ledakan kecil dari tuturnya dan membuat kami, terutama aku tersentak heran.
Paparan Dev membuat ku sejenak menelaah ucapan kesalnya itu. Tanda tanya seakan
melingkar diatas kepalaku. Dorry pun sekejap menatap tajam nan heran. Seakan
tak mau melanjutkan omongannya, Dev pun beralih pada nasi karinya. Dugaanku
mendadak mencuat, aku mencium sesuatu, namun semua seakan terbuyarkan oleh aksi
Dorry tersedak untuk kedua kalinya. Aku terdiam heran dengan dua makhluk di depanku
ini entah mereka sedang kesambet apa. Ekspresi mereka bak dua kutub magnet,
saling bertolak belakang.
J
Satu pun
dialog tidak bisa ku luapkan ke dalam skenario. Kursor masih berkedip-kedip
ditempat, seakan minta dimunculkan deretan huruf dan kata. Entah kenapa aku
masih duduk bengong di ruang inspirasiku tanpa satupun ide terluap. Tangan
iseng ku pun tak bergurat di atas kertas dengan media lukis. Aku beranjak dan
terduduk di sofa kecil yang menghadap ke jendela kamar. Pikiranku seperti
merekam beberapa kejadian pada hari-hari yang lalu bahkan yang dulu,
“ Ya udah lah gue berangkat sendiri, lu kan
sibuk ! “, jawabku ketus.
“ paling
minggu depan manggung lagi “, ujar Dev.
“ gue tetep
mau nonton, Dev !”, jawabku tegas.
“ Terserahlah
! ‘, jawabnya
Baru beberapa
langkah aku menuju pangakalan taksi yang di seberang, aku terdampar di dalam
hitam, gelap sama sekali tak ada setitik terang atau pun gradasi cahaya. Entah
berapa lama aku tersandra oleh si hitam mungkin satu jam? dua jam? Entahlah.
Tiba-tiba mataku pelan-pelan menangkap tingkatan cahaya redup, setengah terang,
dan sangat terang, itu cahaya lampu kamar ruang inap. Banyak sosok-sosok
termasuk salah satu sahabat yang beberapa jam lalu bersitegang. Dan saat itu
tidak ada sosok menakjubkan bersama
gubahan nada yang akan ku dengar. Penantianku baru terjawab tiga tahun
kemudian tepatnya beberapa hari silam. Sebuah
paparan kesal yang mendadak meledak pun ikut terekam. Aku termenung
seakan sebuah intuisi ingin bersua tapi aku tak tahu.
Ponselku bergema
memenuhi kamar, ruang inspirasi paling cozzy. Tersentaklah aku dan semua
pikiran yang hinggap buyar dalam sekejap.
“ Av, lu
pasti nggak percaya “, suara heboh memenuhi telingaku.
“ apa sih ?”,
jawabku penasaran.
“ desain
iseng lu !!”, suara heboh itu semakin heboh dan membingungkan.
“ desain
iseng lu di taksir klien gue “, suara heboh membuatku ikut heboh dikala kosong.
Beberapa detik aku berpikir, menelaah ucapan heboh yang datang itu.
“ desain yang
mana sih bet?? “ , ternyata suara heboh
itu datang dari si editor seniku, penasehat seniku, Bet
“ yang
terakhir itu, desain lu kebawa gue, kemarin gue buru-buru, dan bener kan kata
gue pasti bisa dipake, udah deh sekarang lu meluncur ke galeri, sebentar lagi
mau ketemu sama klien gue itu, ok !”, jelasnya dan beberapa saat pembicaraan
terputus. Aku yang masih diliputi kehebohan Bet, beranjak mengambil kunci dan
segera melesat bersama si piccanto biru.
…
Ku jajarkan
Piccanto biru langitku disamping Honda City hitam pekat mengkilap yang sempat
membuatku silau. Sejenak aku berpikir ini mobil siapa sih pekat dan mengklat
sekali hitamnya, namun aku kembali pada langkahku menuju Bet berada. Aku
menyusuri galeri Bet yang berarsitekstur etnik jawa. Desain interiornya pun
bergaya klasik. Baru memasuki gerbangnya saja aku langsung terkesima dengan
gentong-gentong besar yang terukir klasik, entah itu salah satu karya Bet atau
bukan yang jelas aku seperti masuk kedalam alam seninya, rasanya aku ingin juga
punya galeri atau paling tidak punya rumah yang bernuansa seni.
“ Van, sini
“, panggil Bet dari sebuah gazebo. Lagi-lagi Bet tidak konsisten memanggilku,
ya sudahlah ! Aku melihat Bet terduduk
bersama seorang pria paruh baya, ku tebak umurnya paling 30an dan tak lebih
dari 40 tahun. Tampak mereka akrab, apakah salah satu teman dekatnya ? tapi
seperti yang Bet utarakan secara heboh di telepon tadi, dia adalah klienya.
Paling-paling dari pihak periklanan atau kantor arsitek atau desain interior
yang memintanya untuk mendesain. Atau jangan-jangan kolektor benda seni yang
akan menukar koper uangnya dengan benda seni ? entahlah.
Wajahnya
asing bagiku tapi cukup segar dilihat. Bukannya aku haus dengan tampang-tampang
ganteng para pria tapi ya cukup enak dilihat sosok pria berkemeja putih dengan
cardigan biru donker. Parfum maskulinnya lumayan segar tercium. Penampilannya
rapi dan stylist, bak pria
metroseksual diluar sana. Bisa kutebak dia sosok eksekutif muda yang bergerak
di bidang entertainment atau sejenisnya. Semoga saja dia bukan pria
metroseksual yang ‘nyeleneh’.
“ Halo “,
suara baritonnya menyapa sambil menjabat tangan. Aku hanya membalas dengan
jabatan tangan dan anggukkan.
“ ini Jodi
yang naksir desain lu “, papar Bet. Hah? Orang ini naksir desain isengku, hey
mas buat apa, itu cuma karya iseng belaka, cuma bisa aku nikmati sendiri,
rasanya aku tak percaya.
“ Oh..”,
jawabku singkat karena tidak tahu harus merespon apa.
“ Dia mau
pakai desain lu buat artisnya “, lanjut Bet. Hah artis? Kok bawa-bawa artis,
aku benar-benar bingung.
“ buat apa
?”, tanyaku
“ ehm.. buat cover album kompilasi musisi gue “,
jawabnya sambil tersenyum hangat. Musisi, telingaku seakan ingin mendengar
lanjutan penjelasannya, musisi siapa ? aku semakin penasaran.
“ dia mau
bikin album, gue yang ngurus semuanya.
“, jelasnya. Aku hanya mengangguk saja dan terus mendengar apa yang akan
dipaparkan olehnya ataupun Bet.
“ lu tahu
nggak siapa musisinya ?”, Bet semakin membuat rasa penasaranku menjadi. Rasanya
telingaku tak mau berpindah dari celotehan 2 sosok ini.
“ Derian
Damaro “, jawab Bet perlahan namun membuat heboh rasaku. Hah! musisi favoritku
? aku tidak salah dengar kan ? satu pun ucapan mendadak tidak bisa keluar dari
rongga mulutku.
“ album ?”,
tanyaku pelan.
“ Yup,
kumpulan permainan akustiknya, mau dibuat
album, kata Bet lu pengagumnya ya ?”, ujar Jodi membesarkan hatiku.
“ ya suka aja denger dia main “, jawabku
singkat.
“ dia udah
liat desain lu dan dia suka, setelah ngobrol-ngobrol dia setuju, gue pikir itu
desainnya Bet loh “, jelasnya. Rasanya aku ingin berseru hei itu karya isengku
ya memang di arahakan sana sini oleh Bet.
“ Gimana Av
?”, tanya Bet sambil melempar senyum jailnya. Aku tahu Bet ingin menggodaku.
Dia seakan tahu betapa sumringah mendapat penawaran ini. tapi aku tak habis
pikir, seperti mendapat kejutan lagi.
Aku, Bet, dan Jodi masih terus bercengkerama dengan tawaran itu, dengan
obrolan-obrolan lain pula tapi tak jauh-jauh dari projek dadakan bersama Derian
Damaro, musisi favoritku. Aneh memang, aku tidak menyangka keisengan belaka
membawa ini semua. Derian damaro memang sudah ku tahu lama, sebelum dia setenar
sekarang dia memang sudah yahud beraksi dengan media petiknya. Musisi-musisi
juara pernah diiringi olehnya hingga sekarang dia yang jadi juaranya, pilihan
bersolo dan memukau banyak penikmat akustik.
J
Kabar
menghebohkan ini harus sampai pula ke telinga sahabat-sahabatku. Mereka pasti
terkesima sampai menganga, sketsa gradasiku di booking untuk album ‘Simply Precious Acoustic ‘ milik Derian
Damaro. Seolah ada masalah serius, aku meminta bahkan mengharuskan Dev dan
Dorry menghadapku di ‘Rumah Piano’, kafe
bernuansa musik, sekaligus tempat kursus musik. Aku sengaja tidak
memberitahukan nya terlebih dulu, biarkan mereka berdua mati penasaran.
Aku berusaha
untuk sampai duluan di ‘rumah piano’ biar kejutan yang ku lakoni berasil. Cukup
jitu awalnya membuat mereka berdua panik penasaran, terang saja ku katakan aku
akan terbang menyusul kakaku ke Belanda dan menetap bebrapa bulan untuk
menemani kakak iparku yang tengah berbadan dua.
“ kok dadakan
sih dia , kebangetan deh “, Dorry sewot sembari berjalan menuju tempatku
berada, disusul Dev.
“ Mana dia
?!”, Dorry bingung celingak-celinguk
mencariku.
“ Hei !”,
nada kesal bin penasarannya pun terdengar di hadapanku.
“ kok dadakan
sih ?”, lanjut Dev. Mereka langsung menyerbuku dengan tatapan tajam, sebal, dan
penasaran. Sementara aku duduk santai melihat ekspresi lucu mereka, ya mereka
lucu, Dorry dengan wjajah sewot dipadu tatapan penasaran, Dev yang lebih
terlihat jaim namun aku tahu dia pun penuh tanda tanya.
“mau sampai
kapan di sana, lama nggak ?”, tanya
Dorry yang sejak tadi tidak mau diam dan terus menyerbuku dengan banyak tanya.
Dev si tipikal diam-diam menghanyutkan hanya memasang wajah penasaran dan ingin
segera mendapat kepastian dariku.
“ pesen dulu sana, jangan kayak orang kesetanan
gitu “, jawabku santai.
“ udah lah,
apa sih ?”, ujar Dev.
“ duduk
dulu yang bener, jangan ngerocos dulu,”, sahutku cepat.
“ dengerin !
“, lanjutku. Mata Dorry dan Dev semakin menatapku dengan seksama. Aku seperti
mau ditelan oleh mereka bak penjahat yang diintrogasi.
“ Sketsaku
yang ini dijadikan desain cover
album“, paparku sambil menunjukkan sketsa gitar bergradasi dengan selipan tuts
piano dan tangga nada. Aku menanti ekspresi apa yang keluar dari kedua sahabatku.
Mereka masih memasang wajah bengong nan bingung.
“ Album foto
? “, celetuk Dev polos. Mendengar celetukkannya seakan mendengar deretan tuts
piano yang digebrak bersamaan.
“ hah ?”,
Dorry pun masih tercengang.
“ Album musik
seorang musisi “, jawabku santai dan mata Dorry semakin menatapku tajam. Dev
hanya mengangkat alis bingungnya.
“ Seorang
musisi pakai sketsa isengku untuk cover
albumnya “, jelasku lagi.
“ musisi
siapa ?”, tanya Dev dan Dorry beralih melihat Dev seakan perkataan itu yang ingin
dia ucapkan, namun keduluan.
“ yang kita
tonton minggu lalu “, jawabku tenang. Dorry semakin terbelalak.
“ yang bener
?? kamu bohong ya “, Dorry sumringah luar biasa dan tak percaya, namun Dev
seakan tidak tersambung oleh omonganku barusan.
“ Gimana
ceitanya, terus soal ke Belanda ?”, tanya Dorry. Aku menggeleng lemas.
“ Apa sih ?
ngomong yang jelas dong, lu nggak jadi ke Belanda, terus apa itu album album
?”, Dev masih belum tersambung. Entah pikirannya tersangkut dimana. Mungkin
tersangkut oleh kabar kabarku ke
Belanda. Geli rasanya melihat wajah penasaran, seperti anak kecil yang gampang
dibohongi.
“ desainku
mau dipakai buat cover albumnya Derro
“, jelasku lagi.
Ekspresi
dua sosok di depanku kembali seperti dua
kutub magnet yang bertolak belakang. Dorry teramat sumringah sementara Dev raut
mukanya menekuk, bukanlah datar lagi tapi seperti hansip mau menghajar maling.
Tanpa ba..bi..bu..Dev beranjak dan melenggang, sementara aku bermain mata
dengan Dorry. kami mengejarnya namun sosoknya secepat kilat lenyap. Kami saling
menatap heran. Mau member kejutan tapai aku menerima banyak kejutan, salah
satunya tingkah Dev yang tak terduga.
Setitik kekecewaanku mencuat, namun Dorry berusaha menghibur. Setelah menyeruput
teh hijau pesananku, aku tetap tak
bersemangat lagi untuk menceritakan kesenanganku. Dorry menemaniku pulang.
Ekspres sumringahnya pun berganti iba.
J
Selimut
tebal bergambar potongan-potongan puzzle
masih menutup badanku yang mendadak meriang, entah karena terlalu lelah beradu
dengan skenario atau memikirkan salah satu sahabatku yang mendadak aneh bahkan
menghilang sejenak dari peraduan kami. TapI sang waktu memaksaku untuk beranjak
dan bersiap, karena hari ini aku akan membahas projek ‘kejutan’ yang diberikan
Bet bersama klien spesial. Ya memang spesial, sebelumnya aku hanya mampu
menatap dan menikmati dari tempat duduk
hall tapi beberapa jam lagi aku bertatap muka, beradu mata, bahkan bersua
dengannya. Sesaat Bet pun berdering mengingatkanku bak jam weker saja.
“ udah
berdandan belum ?”, goda Bet dari seberang sana, entah dia sedang berpijak
dimana.
“ Baru
bangun, jam 11 kan ketemunya ?”, ujarku memastikan.
“ Heh, buruan
siap-siap udah jam berapa ini, kan mau ketemu musisi pujaan “, paksa Bet.
“ buruan bangun, ketemu di galeri ya”, ujarnya
lagi.
“ Hmm..”,
suaraku masih terdengar alto dan nyawaku masih separuh tertinggal di dunia
mimpi. Beranjak dari tempat tidur rasanya berat. Mataku masih terlelap. Dengan
langkah berat aku beranjak menuju toilet dan bersiap. Baiklah aku siap beradu
denganmu Derro.
Aku lemas tak
bersemangat, padahal sosok pujaan akan hadir beradu mata denganku. Walaupun
untuk pertama kalinya aku akan bertatap muka dan beradu mata denyannya, namun
tidak ada persiapan mewah apapun. Aku tak sampai mandi kembang tujuh rupa
supaya wangi semerbak, aku juga tak bersalon ria supaya terlihat menawan, aku
tampil seadanya tapi memang balutan sackdress ungu yang membuatku berbeda dari
biasanya. Sepanjang perjalanan, aku masih diliputi rasa aneh bin bingung plus
kaget karena tingkah Dev. Intuisiku seakan ingin bersua namun abu-abu ragu
masih beradu. Ku coba menghubungi Dev namun deringanku sepertinya tak didengar.
Selang beberapa lama malah si mbak operator yang menjawabnya. Aku kembali
melanjutkan aksi kemudi.
..
“ dia belum
dateng kita disini dulu eh, inget ini nggak ?”, Bet menunjuk salah satu lukisan
di sebuah partisi. Aku melihat dengan seksama lukisan 3 bocah yang sedang
memegang lollipop. Dengan sapuan aneka warna yang dibuat bergradasi, lukisan
itu bukan membuatku kagum tapi sedih teringat kedua sahabatku Dorry dan Dev.
Tak sadar aku sampai terbengong menatap lukisan itu.
“ Hmm..
bagus”, ucapku singkat.
“ itu bukan
punya gue, itu lukisannya Sugondo Atmojo”, paparnya. Aku hanya mengangguk.
“semua warna
juga bisa kan dibuat gradasinya”, lanjutnya. Entah mau menjawab apa, pikiranku
seakan tidak berada disini. Aku banyak diam. Hanya berucap seadanya. Langkah ku
menyusuri barisan benda seni milik Bet dan beberapa koleksinya.
Terdengar
dari pelataran parkir sebuah mobil datang. Mataku dan Bet teralihkan ke sana.
Honda city hitam pekat itu lagi. Dua kepala muncul dari balik mobil dan segera
beranjak masuk galeri. Aku sudah menangkap sosok sang gitaris, namun sepertinya
dia belum menangkap sosok kami disini, sampai-sampai Bet harus melambaikan
tangannya kepada mereka. Dan kami pun untuk pertama kalinya bertatap muka,
beradu mata, namun tak ada sua dari mulutku maupun mulut seorang Derro, bahkan
yang ku tangkap tatapan tercengangnya ketika melihatku.
“ hai “, aku
yang membuka suara.
“ hah.., jadi
lu, yang.. “, suara Derro terbata dan tercengang melihatku bak melihat hantu.
Beberapa detik dia terdiam kaku.
“ iya yang
desain buat album lu “, jelas Jodi cepat, ya aku masih mengingat si pria
metroseksual.
“ Oh.. ?”,
jawabnya pelan.
Mestinya aku
yang tercengang bisa bertatapan lebih dekat dengan musisi favoritku, tapi
kenapa dia yang jauh lebih tercengang menatapku. Di matanya seperti menyiratkan
sesuatu atau jangan-jangan dia pernah mengenalku ? ah mustahil. Bet mengajak
kami menuju Gazebo yang bersebelahan dengan kolam ikan koi peliharaannya.
Pembicaraan tentang projek ‘kejutan’ itu pun terus berlanjut. Sosok Derro
tampak sama seperti diawal tadi ketika
bertemu. Pria bertubuh semampai ini sesekali tertangkap bengong dan kami, lawan
biacaranya harus beberapa kali mengulang pembicaraan. Aku menjadi aneh sendiri,
banyak dugaan mengapa Derro masing tampak tercengang, jangan-jangan ada yang
salah dengan make up ku ? atau balutan baju ku ? atau ekspresiku ? Ehmm.. aku
tak berekspresi ekstrim bak fans fanatik bertemu pujaannya, ada apa dengannya?
J
Mungkin
saatnya aku menyindiri dan menyepi dibarengi menghilangnya sahabat-sahabatku,
Bet si penasehat seniku, mendadak harus bertandang ke Bali untuk menghadiri
pameran seni. Dorry sedang beradu dengan proyek fotografinya di Gunung Gede,
sementara Dev masih menghilangkan diri.
Aku terduduk kembali dengan pekerjaan bebasku, menggarap tulisan bebas
dan mereview skenario FTV yang siap
divisualisasikan oleh kawan-kawan berseniku di rumah produksi. Sebuah pesan
singkat terpampang dilayar ponsel, isinya hanya ucapan terima kasih dari pihak
managemen musisi favoritku, menyenangkan memang akhirnya bisa menikmati gubahan
nadanya sekaligus membantu dalam proyek bermusiknya. Bukan royalti yang melegakan
tapi kebanggaan.
Jariku terus
beraksi diatas keypad, deretan huruf dan kata saling tersambung didalamnya.
Saking asiknya aku tak berasa seorang terduduk dihadapanku.
“ Dev !!”,
aku setengah berteriak menatap sosok dihadapanku. Lagi-lagi dia terdiam.
“ kemana aja,
menghilang ?”, tanyaku kesal.
“ nggak
kemana-mana Cuma..”
“ Cuma apa ?
kenapa kemarin ngeloyor aja terus ngilang HP dimatiin, marah ?”, aku segra
memotongnya. Hanya hembusan nafasnya yang terdengar. Tanpa sadar tanganku
menutup keras lapotop putih yang sedang bertugas mengurai cerita.
“ kenapa ?’,
tanyaku.
“ eh
kebetulan lu di sini kemarin gue mau ngasih tau, desain gue dipakai “, aku
terus melontarkan kegembiraan atas proyek ‘kejutan’ bersama Derro. Hembusan
nafasnya lagi yang terdengar bahakan dia sampai menarik nafas panjang.
“ jujur gue nggak suka, tapi selamat ya.”,
nada tenangnya sedikit tegas. Aku terdiam seksama untuk berganti mendengarnya.
Intuisiku pun kembali ingin bersua tentang sesuatu.
“ kenapa sih
Dev ?’,
“ Gue nggak suka
lu berurusan sama dia.”, ucapnya datar. Hei ada denganmu Dev datang tak
terduga, mendadak ketus dan menyiratkan kebencian dengan sosok pujaanku ?
“ Gue juga
capek nyimpennya kelamaan “. Hei nyimpen apa, intuisiku seakan ingin menyeruak,
pasti ada sesuatu. Tapi aku masih ragu dan menatinya berseru.
“ nyimpen apa
?”, tanyaku memastikan sesautu itu. Berganti wajah bingungnya mencuat, mulutnya
ingin berkata namun seakan sulit.
“ nyimpen apa
? capek kenapa ?”, paksaku.
“ Gue capek,
gue nggak suka lu ngomongin Derian terus, gue nggak mau sampai lu berhubungan
sama dia.’, jelasnya. Sebentar lagi seperti akan ada kejutan yang terkuak. Diliputi bermacam
rasa bak lukisan abstrak bercampur baur warna, aku menunggu penjelasan Dev.
“ dia yang
buat gue sakit hati… dia yang ngancurin keceriaan lu selama tiga tahun…
“,ucapan terbata membuat telingaku ingin terus terbuka mendengarnya.
“ …
karena…dia si penabrak sialan itu “,. Seperti ada gebrakan tuts piano, aku
tercengang tapi mungkin dapat kumaklumi toh semua sudah terjadi dan
terbayarkan, tapi seakan ada potongan puzzle yang menyisakan tanya. Aku terus
menunggu ucapan apa lagi yang akan terlontar.
“ tapi
itu,..”, ini konyol, seakan aku ingin membela diri mungkin lebih tepatnya
membela musisi favoritku namun ucapanku tertahan.
“ dia udah
ngerebut sosok yang berarti buat gue “, jegerr ! kali ini bukanlah bantingan
tuts-tuts piano lagi terdengar mungkin lengkingan gitar listrik atau sambaran
petir di siang bolong. Dev ngomong apa sih, kenapa dia mendadak frontal tak
terduga begini. Aku terus mencoba menelaahnya namun tanda tanya bertambah
seribu kali lipat memenuhi kepalaku.
“ dia
ngerebut Lona sampai bikin gue hampir mati, lu inget ?!”, Dev seakan memaksaku
untuk memutar memori pada masa kegalauannya. Tentulah aku ingat, betapa terpuruknya Dev karena perselingkuhan
terselubung Lona. 4 bulan mulutnya bungkam tanpa satupun ekspresi ataupun kata,
membuat aku dan Dorry panik setengah mati. Aku pun bisa merasakannya seperti
dicekoki pil pahit, kesetian 2 tahun jalinan cinta hamcur oleh hiasan
perselingkuhan
“musisi pujaan lu itu yang ngancurin semuanya,
gue nggak mau itu kejadian lagi, gue nggak mau sakit lagi, Van “, lanjutnya
dengan tatapan mendalam padaku.
Aku mulai
mengangkap semua paparannya, ternyata beban mental itu masih menjadi bayangan
pekat buatnya. Rasanya aku ingin menutup semua indera yang mengakses informasi
sehingga tak ada lagi yang kutangkap. Aku masih tidak percaya, sosok berkarisma
itu telah membuat sahabatku trauma cinta. Tapi sisiku yang lain, seakan
mendapat kejutan-kejutan konyol. Kejutan konyol yang terpendam dan kini terkuak
meledak.
“ Sekarang gue nggak mau lagi kehilangan orang
yang gue sayang.. !”, jelasnya sesekali nafasnya berhembus panjang dan seperti
pendongeng, mulutnya terus mengalir ucapan tak terduga.
“…..gue nggak
mau, dia ngerebut lu dari gue !“, tatapannya semakin mendalam dan aku seakan
ingin berteriak INI KONYOL DEVANO ! tapi tak satupun getaran suara keluar dari
pita suara. Kejutan konyol apa lagi ini ? telingaku seakan ingin kusumpal
kapas, namun ‘pengakuan dosa’ nya terus
mengalir membuatku bergidik. Rapi sekali Dev membungkus lukisan batinnya tanpa
mampu ku lihat pembauran warna rasa bahkan gradasi rasa. “ kenapa aku? Kenapa
aku yang diam-diam dijadikannya media untuk menorehkan warna merah muda”,
batinku terus bertutur tentang kecurangan hatinya . Aku mematung menatapnya,
entah harus kesal, marah, bingung, ataukah harus mempunyai rasa yang sama
denganya. Rasanya aku ingin mengaduk-aduk tinta bak lalu melemparkan ke kanvas,
menjadi lukisan hitam pekat tanpa gradasi ataupun paduan warna lain.
…
Bersama
inspirasi ku istirahatkan sejenak pikiranku dari kejutan-kejutan konyol. Dan
entahlah seperti ada Roh yang membimbing, tangan isengku terus menggurat
berulang sebuah sketsa ‘tangan tergenggam’. Barisan warna-warni pensil akuarel
siap menyapu diatasnya. Ku tinggalkan sejenak si hitam bergradasi yang
mendominasi. Aku kembali pada permainan
variasi warna. Puluhan warna saling
berpadu, bergradasi dalam satu media.
Sama halnya dengan rasaku yang ingin selalu berwarna-warni untuk kedua
sahabatku Dev dan Dorry, tanpa ada 1 warna istimewa.
JJJ
`
Subscribe to:
Posts (Atom)