Wednesday, January 8, 2014

Sketch on Sketchealing Book

Tangan yang tak pernah mau diam saat sedang berdiam. 
Jadilah kerjaan iseng ini, paduan sketsa dan bidikan kamera 

Parfum dan Kentut


Angin segarmu itu hanya kamflase kentut yang kau semprot dengan parfum murahan. Kau harus menyemprotkannya ketika hidungku ragu bau apa yang sedang terhirup., dan saat cairan parfum murahmu menipis saat itulah bau busuk semakin menyengat dan akhirnya aku tahu, wewangian apa yang selama ini tercium. Angin segar yang tidak nyata segar tapi terkontaminasi kamuflase-kamuflase yang kau buat. Ya itu bukan angin yang menyegarkan nafasku yang sedang sangat butuh oksigen.

Sekarang aku harus balik bertanya atas tanyamu, mengapa aku harus beralih? Karena aku butuh udara segar untuk membantu nafasku yang pendek dan nyaris  terhenti karena terlalu banyak karbondioksida yang menyiksa  jiwa. Dan itu yang tidak kau tahu.


(Angelina Ratih Devanti, 24 Januari 2013) 

Piano dan Celo

Dua pasang tangan beradu dengan lagu
Menggubah yang sendu menjadi haru
Mencairkan yang beku menjadi berseru
Paduan senar dan tuts berpacu menyatu
Mengurai semu menjadi sesuatu

Bow berkelana menggesek asa
Tuts menari membawa tawa
Melodi berlari mengejar paduannya
Membawa nada dan doa

Dentingan mengayun senang
Petikkan turut melayang
Membangkitkan yang terbuang
Untuk menjadi pemenang

Lagumu belum berakhir
Resitalmu tetap mengalir
membawa cerita ke hilir  



(Angelina Ratih Devanti, 11 Desember 2012, dini hari) 

Gradasi


(by : Angelina Ratih Devanti, 25 -30 juli’11)

“ Coba tambahin line sedikit deh, Van.”
“ Di bagian mana ?” tanyaku melongo.
“ Ehmm..??” , mata Bet berputar menilik setiap detail sketsaku, mencari bagian yang perlu dipoles.
Kami terus berkutik, tepatnya aku yang bergidik dengan rupa ini. Bet terus saja berceloteh mengomentari hasil kerja si tangan iseng ini.
“ Av, ehmm..? yang ini lebih keren, gue suka, poles sedikit ya pakai drawing pen.”, Bet menoleh pada rupa yang lain. Aku, yang sejak tadi dipanggil secara tidak konsisten olehnya hanya manggut-manggut.
“ Coba main pakai warna biar lebih colorful.
Aku menelaah celotehan-celotehan Si ‘Editor’ dadakan dalam proyek desain iseng-iseng ini. Bukan masukan tentang ‘ilmu ‘ seni yang kutelaah, tapi kata sapanya yang lagi-lagi tidak konsisten, kadang  “Av” kadang “Van”, tapi ya sudah lah. Kalau dia menyapa lengkap ‘Avanti’ akan jadi panjang, jadi biarlah dia mau memotong namaku diawal atau diakhir.
Kembali pada kertas-kertas yang ada di depanku, Bet masih membidik beberapa hasil kerja tangan isengku. Beberapa kali Bet berkomentar dan memberi masukan untuk membubuhkan warna-warna lain. Ya memang aku sedang menggunakan 1 warna saja, hanya menggunakan media yang ada untuk karya isengku ini. Permainan gradasi dari warna hitam; hitam pekat, hitam sedang, abu-abu, dan putih pucat yang ku toreh di beberapa sketsa. Tak ada variasi warna lain disana.
“Van, ini pakai cat apa, pekat sekali hitamnya?”, tangannya mengambil sketsa gentong yang terintip dari tumpukkan sketsa lain.
“ Bukan, itu tinta bak”
“Bagus gradasinya, Ehmm… cuman yang ini nge-blok-nya ketebalan, mestinya bisa di pecah lagi jadi  4 lapis.”, Bet menopang dagunya sembari terus membidik kertas bersketsa.
“ Ehmm..? Ok”, aku berpadu dengan bingung dan datar
Aku sebenarnya bukan seorang pelukis hebat . Ya mungkin  darah seniku hanya setengah bahkan seperempat yang menurun dari para tua-tuaku. Tapi aku sangat menikmati seni dan ingin berseni. Dan bukannya aku tidak menyukai warna, tapi entah mengapa saat ini aku menikmati  pembauran warna hitam dalam gradasi. Disela waktu bebas aku sering iseng berkreasi, jadi bersiaplah saja apapun yang ada di sulap oleh si tangan iseng. Bet yang selalu  menjadi penasehat untuk karya-karya iseng ini.
 Sebuah tangga nada tergurat diatas kertas. Secara berulang aku menorehkan wujudnya sehingga tergambar samar berbayang. Setelah sekian lama aku bermain bersama deretan warna, kini pensil dan pena yang menjadi andalanku. Dalam sketsaku hanya 1 warna yang memberikan banyak bayangan. Bet yang juga sedang mengerjakan proyeknya sesekali melirik dan berceloteh. Sudah beberapa tahun Bet menemani dalam karya-karya khayalku. Bahkan sepupuku ini beberapa kali  menorehkan lukisannya untuk sampul buku-ku
J

Kaki bebasku melangkah mantap menyusuri pelataran pameran seni. Aku tak sabar menikmati hasil kerja tangan iseng Bet di barisan gerai. Ku bidik satu demi satu dinding partisi yang dipenuhi hasil karya tangan para seniman. Tepat di bawah karya, tertulis penjelasan singkat tentang ; judul karya, si pencipta, dan cerita atau pun proses kreatifnya. Menakjubkan. Warna-warni tertuang, bahkan media lukisnya pun beragam. Sebuah lukisan unik terpajang, aku menilik pada papan namanya,’ Santai Sore’ yakni  lukisan toples berisikan permen atau kue kering, yang kulihat seperti itu,  dengan 2 cangkir teh. Objek-objek itu tergurat dengan  warna dari berbagai macam bumbu dapur, beberapa menit aku berdiam di depan lukisan itu mengamati tiap detail warna dan sketsanya.
Pencarian karya tangan iseng Bet teralihkan kembali. Kaki bebasku hinggap berpijak di depan sebuah lukisan berjudul ‘ Dawai Tak Terpetik ‘. Ukurannya hanya seukuran kertas A4. Mataku terus mengamati wujud dalam lukisan itu. Sebuah sketsa gitar dengan senar-senar yang merenggang, bahkan sebuah senar terputus. Sketsa digoreskan berulang-ulang sehingga menghasilkan ruang untuk memoles pecahan warna hitam. Ku lihat di sana hanya ada satu warna, hitam. Hitam yang di pecah menjadi tingkatan warna gelap pekat, abu-abu redup, arsiran tipis,  dan putih pucat. Saking menikmatinya aku teringat karya-karya isengku yang pastinya masih kalah dengan lukisan ini. tetapi yang paling membuat tersontak adalah wujud yang terlukis, membuat memoriku memutar ke tiga tahun silam. ketika dulu aku kehilangan kesempatan menikmati gubahan nada dari musisi favoritku dan sampai sekarang aku tidak tahu kapan musisi itu akan beraksi kembali.
“ Heh. Bengong”, mendadak Bet sudah berada disampingku. Entah kenapa setelah aku menghadiri pameran seni Bet bersama kawan-kawan seninya, pikiranku seakan belum pulang dan masih berdiri di depan lukisan gitar bergradasi. Bet ikut terbengong, tapi bukan persoalan tentang lukisan gitar itu
“ Kenapa ?”, tersadar dari ke’bengong’an ku, aku beralih heran melihat Bet.
“ Hah ?”, tersadarlah Bet.
“ Kenapa ikut-ikutan bengong ?”, tanyaku heran.
“ karena lu bengong, kenapa?” dan kami saling terheran-heran. Aku bungkam tentang hal ajaib apa yang tadi ku temui sehingga membuatku terbengong begini.
“ Tumben nggak coret-coret”, Bet heran melihat kertas-kertas di depanku tidak berserakan seperti kemarin, hanya laptop putih yang menyala dengan tampilan  layar kosong. Hanya hembusan nafasku saja yang menjawab ucapan Bet. Sepertinya pikiranku belum kembali dari pameran seni.
J

“ Vantiiii…”, suara dari seberang sana seakan meledak memekakkan telingaku. Suara siapa ini tak harus teriak-teriak begini kan, kesalku mencuat.
“ Siapa nih !”, nada ketus pun  tercetus.
“ ih… Falla tauu..! aku punya  2 tiket, mau ?”, sebuah penawaran datang dari salah satu teman dekatku di choir dulu.  tapi apakah itu sampai membuat telingaku heboh ?
“ pertunjukkan musik, kamu nggak bakal nyesel deh !”, belum bersuara, Falla sudah bersua.
“ besok ketemu ya, ambil tiketnya jangan lupa ! “, suaranya semakin mendominasi.
Satu huruf pun belum sempat keluar dari mulutku, Falla si sopranis, lenyap menghilang. Akhirnya aku bertanya-tanya sendiri, tiket apa ? besok mau ketemuan dimana ? pertunjukan musik ? apa sih ? Selang beberapa menit setelah Falla berteriak-teriak di ponselku, dia mengirim sebuah pesan singkat yang membuatku tersentak takjub seperti mendapatkan sekoper uang, sekarung berlian ditambah dengan sebuah mobil sport termahal. Pikiranku semakin penuh dan ingin segera  memenuhi tawarannya barusan. Kembali aku teringat lukisan tadi, aku berpikir geli, kalau aku yang menjadi pelukis itu, aku akan memberi judul  ‘Dawai Terpetik Kembali’. Diliputi rona senang, aku bermain dengan sketsa-sketsa yang berantakan.
Tiga tahun lalu mestinya aku bisa duduk menikmati gubahannya namun karena kecelakaan kecil yang berbuntut besar, rumah sakit lah yang harus ku singgahi bukan Gedung Balai Seni. Di tahun berikutnya aku tak lagi mendengar seruan bahwa musisi favoritku beraksi, selang berikutnya malah kabar buruk, dia terhempas di ranjang rumah sakit karena tertimpa bongkahan tiang saat gladi bersih suatu acara, lagi-lagi tak bisa ku nikmati gubahan nadanya. Aku terus menunggu aksi jemari dengan gitarnya.
Setiap curhat pasti terselip keinginanku untuk menikmati pertunjukkan musiknya, sampai membuat seorang sahabatku, Dev  jenuh mendengarnya. Aku memang sangat mendambakan bisa menikmati petikan terbaiknya.
“ Pas lu nikah nanti buru-buru deh  booking dia buat jadi guess star-nya”, celetukan Dev sudah kumengerti bahwa dia bosan.
“ hahaa, kan waktu itu tiketku hangus gara-gara masuk rumah sakit “, jawabku seadanya.
“ lagian nggak sabaran “, gumam Dev.
“ tenang van, one day kita pasti bakal menikmati dia ”, sahut Dorry yang sama takjubnya pada sang gitaris berkarisma itu. Aku pun sama yakinnya dengan Dorry, suatu hari nanti aku akan menikmatinya, ya ku nikmati seperti menikmati semangkok es campur, begitu dingin tapi menyegarkan.
“Minta sekalian  dia bikin pertunjukan tunggal khusus buat lu !“, ucapan Dev semakin ngawur, mungkin telinganya siap disumpel kapas bertebal 1 cm setelah mendengar celotehan dua sahabatnya yang terkesima oleh pemetik dawai bernada.
Sosok Derro, begitulah dia disapa oleh penikmatnya, membuatku takjub dan membuat Dev mengoceh kesal dengan curhatan tentangnya. Dev kesal karena aku selalu mengelu-elukan si gitaris muda berbakat yang sudah  menyabet beberapa penghargaan. Ya aku memang takjub dengan karisma bermusiknya. Saat menjentikkan jari pada dawai gitar yang tajam, dia seakan menyihir penontonnya.  Mungkin penggemarnya pun bukan hanya aku, beberapa karibku pun tak memungkirinya.
Seakan semuanya kebetulan, aku yang hanya berniat mencari lukisan Bet, tertahan oleh sebuah Lukisan gradasi,  yang membawa  pikiranku berkelana tentang musisi favoritku dan tiba-tiba, Falla, si sopranis menawarkan tiket pertunjukkan musik yang tentunya dimeriahkan oleh musisi favoritku. Entah ini mimpi di siang bolong atau bukan, tapi nyatanya memang bukan. Selangkah lagi aku akan menikmatinya bersama nada dan irama.
J

Di hari Sabtu yang biasanya ku padati dengan art class di ruang inspirasiku, sejenak terhenti. Sketsa Daun belum ku akhiri dengan permainan gradasi. Sebuah dongeng ‘Permen dan Anak ‘ pun masih menggantung di kotak fileku. Pertunjukan musik yang membuat rutinitas sabtu seni-ku teralihkan. Aku tidak akan mau ketinggalan lagi pertunjukan musik dari musisi favoritku. Lantunan nadanya saja sudah sering berdering di ponselku. Sepertinya pertunjukan ini akan lain dari biasanya. Biasanya ? baru kali ini aku hadir, tapi ya sudah lah aku membawa harapan untuk menikmatinya hari iini.
Lampu-lampu penerangan di dalam hall sudah meredup, hanya lampu sorot yang terus ‘ melotot’ di atas panggung. Satu demi satu musisi beraksi. Aku bersama Dorry, partnerku menonton berbagai pertunjukan seni, mencoba menikmati guabahan nada. Namun rasa penasaranku tetap mencuat. Mana musisi yang ku tunggu ? sudah dua pianis beradu ‘membanting’ grand piano, disusul violis yang menggesek nada-nada miris.
Setelah ketiganya berlalu, panggung pun kosong untuk berganti musisi lain. Siapa musisi selanjutnya yang tampil ? benakku ingin rasanya teriak demikian, padahal  buku acara sejak tadi menga-nga di pangkuanku. Bodohnya, mengapa aku tidak membaca siapa musisi yang akan tampil.
Dalam khayalku seakan terdengar suara dentuman simbal yang menghantar sang musisi keluar dari balik panggung dan... itu dia Derian Damaro, yang kutunggu sejak tiga tahun lalu. Akhirnya secara nyata bukanlah khayalan dalam cerita dia beraksi. Dia mulai bersuara dengan medianya, gitar coklat mengkilap. Aku dan Dorry dengan seksama membidik sosoknya. Tapi di dalam sisiku yang lain ada yang tidak bisa kunikmati. Telingaku terkantuk oleh petikan nada yang dia lantunkan. Ehmm? Buatku memang cukup datar, entah telingaku yang bodoh tidak bisa menikmati alunan melankolis dan tak dapat diduga. Mataku menikmatinya beraksi namun telingaku tak bisa menyaring alunannya. Ya memang, aku hanya penikmat musik dengan nada-nada yang tentunya berjodoh dengan telingaku. Maaf ya Derro barusan aku tak dapat menimati alunan nadamu, hanya rupamu saja yang bisa kunikmati dari tempat duduk ini. Aku mengantuk.
“ Heh heh !!”, bisikan Dorry membuyarkan tidur kilatku. Untung aku punya kemampuan tidur dengan berbagai posisi, hanya memejamkan mata aku sudah bisa terbang ke dalam mimpi tanpa harus merebahkan diri.
“ Bisa-bisanya tidur !”, bisik Dorry kesal.
“ ngantuk. ”, jawabku datar.
“tuh dia akan main lagi”
“ Bersiap tidur lagi aku “, jawabku asal.
“ katanya udah nungguin tiga tahun, sekarang ada malah tidur “
Iya ya, aku harus menunggu tiga tahun untuk menikmatinya bersama gubahan nada tapi saat dia beraksi aku terkantuk, dasar telinga bodoh. Setelah penampilannya  tadi entah sudah berapa musisi berganti sampai akhirnya dia tampil kembali. Aku pun tidak membohongi diri dan menduga, jangan-jangan alunan datar itu lagi yang datang, tapi aku tetap ingin menikmatinya. Kini suara petikkannya berpadu dengan dentingan pianis  cilik. Aku bisa menikmatinya bahkan telingaku ’asik’ mendengar paduan apik nan riang
“ it’s better “, bisikku.
“ Huu..”, cibirannya mencuat.
“ tadi ngantuk juga kan ?”, timpalku.
“ Nggak” , Dorry tak mau kalah
“ matamu merah, sstt..”, aku langsung membidik kembali sosok 2 musisi yang berapadu.
“ Berarti tergantung dari lagunya, Van “, bisik Dorry terkekeh.
Petikkannya tidak lagi terdengar datar dan melankolis, tapi lebih riang. Aku tidak tahu menahu tentang lagu-lagu yang mereka lantunkan, tapi telingaku sejenak punya rasa dan tersihir untuk menikmatinya, mungkin kali ini telinga sudah berjodoh kembali dengan alunannya, tidaklah bodoh  seperti tadi, terkantuk sampai membuatku ‘tidur kilat’.
Pertunjukan tiga tahun silam yang dibuyarkan oleh si penabarak lari, terbayarkan hari ini semua berkat lukisan gradasi di pameran seni dan tentunya berkat Falla ’cempreng’ yang memberikan kejutan ini.kesal memang harus menunggu tiga tahun, tapi ku syukuri. Sejenak khayalku pun beraksi, merasa seakan ada suara yang mengiringi kelegaan ini, suara flute dipadu denting piano dan tentunya petikkan dari musisi favoritku.
  Panggung tempat para musisi beraksi mendadak penuh. Mau apa mereka ramai-ramai beradu diatas panggung. Pertanyaaan bodohku mencuat, jelas lah mau beradu dalam nada. Kubaca buku acara sesi ini hanya tertulis ‘sureprise performance’, semakin penasaran rasanya. Mau melakukan atraksi apa mereka. Dari pandangan mataku,  hanya terbidik seorang wanita paruh baya memegang viola, laki-laki muda sudah terduduk di hadapan grand piano, dan seorang laki-laki setengah tua siap mengadu mulutnya dengan… Apa itu? Flute kah? Mungkin saja flute.
 Mereka beraksi melantunkan alunan klasik yang cukup familiar. Aku pernah mendengarnya di sebuah iklan, lagu itu pun pernah berkumandang ketika kakakku menikah, dan lantunan lagu klasik itu sepertinya ada di dalam rentetan lagu kompilasiku. Aku berpikir sejanak untuk memastikan lagu itu, yaa lantunan Canon in D Mayor karya John Pachelbel berkumandang bersautan. Sesaat mereka terhenti membuat panggung  terasa hening.  Mungkin ada satu menit mereka terhenti dan keheningan meledak, oleh suara gitar elektrik Derro. Latar belakang panggung pun terbuka. Satu set drum bersama penabuhnya membuka suara. Alunan cadas  gitar elektrik membawa rasa yang semakin pekat. Nuansa rock and roll tercipta oleh paduan elektrik gitar, gebukan drum dan ketiga musisi lainmnya. Kolaborasi cadas bin trengginas menjadi puncak pertunjukkan musik itu. Jantung ku seakan bergemuruh mendengar aluanan cadas kolaborasi 5 musisi itu, lengkingan gitar seakan bisa membangunkan telingaku yang sempat terkantuk. Tepukan pun membanjiri hall pertunjukkan itu.
“ Waaaahh…”, mungkin hampir semua mata yang ada di hall itu berespon demikian saking takjubnya.
Efek terkesima oleh musisi favorit memberi inspirasi baru pada karya-karya isengku. Mendadak sebuah guaratan tulisan dipenuhi tentangnya. Tak luput juga sketsa isengku, tertoreh sketsa gitar dengan selipkan tuts piano dan tangga nada. Tentunya saling bergradasi seperti halnya dia yang  bergradasi. Tingkatan warna musik, dia mainkan mulai dari yang membuatku redup terkantuk, sejenak rileks, sampai yang membuat jantungku seperti di gebuk. Mendadak dia memenuhi kotak ide untuk beberapa karyaku.
“ Gosok bagian dalam gitarnya”, Bet, Penasehat seniku berucap sambil membidik rangkaian sketsa dalam kertasku.
Sejenak aku terhenti, memandang lukisan yang kubuat, dan pikiranku pun mencuat, “ Hitam pekat, redup, terang terarsir” aku lempar senyum pada  karya yang ada di depanku. Aku memang bukan seniman hebat, aku hanya iseng bermain dengan perpecahan 1 warna  membuatku terkesima.
“ Nice ! bisa jadi desain undangan resital tuh! “, editor seniku ini memang paling bisa membesarkan hatiku.
“ Cuma iseng, Bet “ jawabku asal.
“ Iseng-iseng bersama gradasi dari si musisi ?”, ledek Bet. Hanya senyumku yang membalasnya.
J

Seperti siang-siang sebelumnya, akan ku habiskan bersama dua sahabatku yang sudah 6 tahun bersama, Dev dan Dorry. Setelah berbulan-bulan aku, Dev, dan Dorry tidak bersua, jam makan sianglah yang kami gunakan. Dev terlihat menghitam, frontal sekali aku menyebutnya hitam, mungkin 2 tingkat lebih terang dari hitam. Dapat ku duga dia banyak berjemur di Bali. Sesuai karakternya yang  tidak banyak berceloteh, Dev hanya menceritakan seadanya tentang dia, pekerjaannya, dan Bali. Sementara aku tak sabar berceloteh tentang kesempatan yang sudah kutunggu sejak tiga tahun lalu.
 “ Akhirnya setelah tiga tahun nunggu, kesampaian juga “, curhatku tentang si penyihir nada.
“ kesampaian apa ?”, Dev heran mendengarku dan mungkin heran melihatku yang mendadak sumringah. lalu kutunjukkan buku acara pertunjukan musik yang telah kuhadiri bersama Dorry. Tapi hanya respon datar yang keluar darinya. Diluar ekspektasiku, ya tadinya kupikir dia akan mengucapkan selamat atau memberikan semangat, hmm..sahabatku yang satu ini mendadak  menjadi tak terduga.
“ seneng kek, apa kek, flat gitu kayak nih..”, sontak ku ambil sebuah nampan yang tertinggal di meja sebelah dan ku tatapkan padanya.
“ kan gue bukan penggemar fanatiknya kayak lu, jadi buat apa seneng ?”, jawabnya.
“ Ah nggak bisa liat orang seneng “, gumamku kesal.
Sembari menunggu Dorry yang sedang beraksi dengan fotografi, aku dan Dev duluan menghajar sajian yang datang. Perut kami sudah terlalu lama berkeroncong. Laptop putih yang tadi menga-nga sejenak ku tidurkan di dalam case-nya. Aku terus bercerita tentang pengalamanku menikmati musisi favoritku. Lagi-lagi dengan cueknya Dev hanya menyuap santapan.Aku pun berubah diam, diam mengunyah nasi kebuli yang tersaji sambil sesekali melirik makhluk di depanku. Dev lain dari biasanya, sayangnya dia bukan makhluk perempuan yang bisa ku duga sedang PMS. Sejanak aku berusaha berpikir dan menduga namun semuanya buyar dengan hadirnya Dorry bersama SLR dan pocket digicam-nya. Dia melangkah menuju tempatku berada dengan jeperetan isengnya.
 “ Apa ini… apa ini ?! ”, ujar Dev memperagakan gaya selebriti yang dikerubungi paparazzi.
“ Tuh liat bagus kan !”, jawab Dorry sambil memamerkan hasil jepretan di kameranya.
“ habis jepret-jepret dimana, neng ?”, tanyaku dengan mulut masih penuh nasi kebuli.
“ Ah.. aku lupa ngasih tau, mestinya tadi kamu ikut, aku habis dari galerinya Pak Sugondo Atmojo”, paparnya senang padaku. Aku terdiam takjup mendengarnya. Dorry habis berfoto ria di galeri, Seniman bertalenta itu ? kenapa dia tidak mengajakku. Aku hanya punya lukisannya yang terpampang di dinding ruang tamu, sedangkan Dorry sudah bertemu langsung bahkan bisa berpose bersama. Sejenak pikiranku tentang Dev yang sedang aneh teralihkan dengan cerita dan gambar-gambar menarik dalam kameranya.
“ Oiya.. tadi ketemu Bianka sapa tuh bianka ?? ”, Dorry mencoba mengingat model cantik yang diidolakan Dev, sembari tangannya usil mengambil sesuap nasi kebuli dari piringku.
“ Calista.”, lanjut Dev sembari menyeruput  minuman hijaunya.entah jus apa yang dia pesan, hijau yang pekat.
“ aku akuin emang cantik beneran “, ujarnnya sambil mengunyah nasi.
 “ Kok nggak ajak-ajak gue”, mendadak Dev bersuara setelah sejenak diam mengolah makanannya.
“ emang ada hubungan apa lu sama dia ?”, tanyaku iseng setelah beberapa saat aku acuhkan dengan cerita galeri dan foto lukisan yang terbidik di kamera Dorry.
“ Ya.. nggak ada apa-apa sih “, jawabannya kembali datar.
“ udahlah aku laper mana nih mbaknya?”, Dorry celingak-celinguk mencari si pramu saji. Obrolan kami terus berlanjut sepanjang makan siang bersama. Tentunya aku masih diliputi rasa heran bin aneh pada sosok berkemeja hitam di depanku. Beberapa menit  suasana hening, jelas saja kami bertiga tengah kompak-kompaknya mengunyah santapan, terutama Dorry yang tampak kelaparan begitu lahap dia makan seperti habis mendaki Gunung Gede semalam suntuk. Namun karena tersedaknya Dorry, membuka suara di antara kami.
“ Pelan-pelan “, ucapku.
“ Kalap amat, habis macul ya ?”, gurau Dev.
“ Uhuuukk..”, Dorry terbatuk-batuk dan segera asal menyeruput minuman, masa bodoh minuman siapa yang penting tenggorokkannya lega.
“ Ih.. keselek sih keselek, minum orang diembat juga “, segera Dev meraih minumannya dengen ekspresi seperti seorang bocah yang permennya direbut orang. Aku hanya tertawa kecil melihat mereka.
 “ kemarin keren, ya ?”, ujar Dorry mengarah padaku. Aku hanya tersenyum sembari mengunyah santapanku. Lagi-lagi Dev terlihat datar.
“ hmm.. di bahas lagi “, gumam Dev.
“ Ih kenapa sih, sirik ya “, sahutku.
“ orang nggak ada bagus-bagusnya disukain “, jawabnya datar. Aku dan Dorry saling melempar tatapan heran
“ kamu sirik ya nggak ada yang ngefans, makanya jadi pemusik dulu biar fansnya banyak”, Dorry tidak mau kalah.
“ gue heran lu berdua sampai segitunya ya tergila-gila, apa bagusnya sih orang nggak bertanggung jawab kayak dia....”
Dev membuat ledakan kecil dari tuturnya dan membuat kami, terutama aku tersentak heran. Paparan Dev membuat ku sejenak menelaah ucapan kesalnya itu. Tanda tanya seakan melingkar diatas kepalaku. Dorry pun sekejap menatap tajam nan heran. Seakan tak mau melanjutkan omongannya, Dev pun beralih pada nasi karinya. Dugaanku mendadak mencuat, aku mencium sesuatu, namun semua seakan terbuyarkan oleh aksi Dorry tersedak untuk kedua kalinya. Aku terdiam heran dengan dua makhluk di depanku ini entah mereka sedang kesambet apa. Ekspresi mereka bak dua kutub magnet, saling bertolak belakang. 
J

Satu pun dialog tidak bisa ku luapkan ke dalam skenario. Kursor masih berkedip-kedip ditempat, seakan minta dimunculkan deretan huruf dan kata. Entah kenapa aku masih duduk bengong di ruang inspirasiku tanpa satupun ide terluap. Tangan iseng ku pun tak bergurat di atas kertas dengan media lukis. Aku beranjak dan terduduk di sofa kecil yang menghadap ke jendela kamar. Pikiranku seperti merekam beberapa kejadian pada hari-hari yang lalu bahkan yang dulu,
 “ Ya udah lah gue berangkat sendiri, lu kan sibuk ! “, jawabku ketus.
“ paling minggu depan manggung lagi “, ujar Dev.
“ gue tetep mau nonton, Dev !”, jawabku tegas.
“ Terserahlah ! ‘, jawabnya
Baru beberapa langkah aku menuju pangakalan taksi yang di seberang, aku terdampar di dalam hitam, gelap sama sekali tak ada setitik terang atau pun gradasi cahaya. Entah berapa lama aku tersandra oleh si hitam mungkin satu jam? dua jam? Entahlah. Tiba-tiba mataku pelan-pelan menangkap tingkatan cahaya redup, setengah terang, dan sangat terang, itu cahaya lampu kamar ruang inap. Banyak sosok-sosok termasuk salah satu sahabat yang beberapa jam lalu bersitegang. Dan saat itu tidak ada sosok menakjubkan bersama  gubahan nada yang akan ku dengar. Penantianku baru terjawab tiga tahun kemudian tepatnya beberapa hari silam. Sebuah  paparan kesal yang mendadak meledak pun ikut terekam. Aku termenung seakan sebuah intuisi ingin bersua tapi aku tak tahu.
Ponselku bergema memenuhi  kamar, ruang inspirasi paling cozzy. Tersentaklah aku dan semua pikiran yang hinggap buyar dalam sekejap.
“ Av, lu pasti nggak percaya “, suara heboh memenuhi telingaku.
“ apa sih ?”, jawabku penasaran.
“ desain iseng lu !!”, suara heboh itu semakin heboh dan membingungkan.
“ desain iseng lu di taksir klien gue “, suara heboh membuatku ikut heboh dikala kosong. Beberapa detik aku berpikir, menelaah ucapan heboh yang datang itu.
“ desain yang mana  sih bet?? “ , ternyata suara heboh itu datang dari si editor seniku, penasehat seniku, Bet
“ yang terakhir itu, desain lu kebawa gue, kemarin gue buru-buru, dan bener kan kata gue pasti bisa dipake, udah deh sekarang lu meluncur ke galeri, sebentar lagi mau ketemu sama klien gue itu, ok !”, jelasnya dan beberapa saat pembicaraan terputus. Aku yang masih diliputi kehebohan Bet, beranjak mengambil kunci dan segera melesat bersama si piccanto biru.
Ku jajarkan Piccanto biru langitku disamping Honda City hitam pekat mengkilap yang sempat membuatku silau. Sejenak aku berpikir ini mobil siapa sih pekat dan mengklat sekali hitamnya, namun aku kembali pada langkahku menuju Bet berada. Aku menyusuri galeri Bet yang berarsitekstur etnik jawa. Desain interiornya pun bergaya klasik. Baru memasuki gerbangnya saja aku langsung terkesima dengan gentong-gentong besar yang terukir klasik, entah itu salah satu karya Bet atau bukan yang jelas aku seperti masuk kedalam alam seninya, rasanya aku ingin juga punya galeri atau paling tidak punya rumah yang bernuansa seni.
“ Van, sini “, panggil Bet dari sebuah gazebo. Lagi-lagi Bet tidak konsisten memanggilku, ya sudahlah !  Aku melihat Bet terduduk bersama seorang pria paruh baya, ku tebak umurnya paling 30an dan tak lebih dari 40 tahun. Tampak mereka akrab, apakah salah satu teman dekatnya ? tapi seperti yang Bet utarakan secara heboh di telepon tadi, dia adalah klienya. Paling-paling dari pihak periklanan atau kantor arsitek atau desain interior yang memintanya untuk mendesain. Atau jangan-jangan kolektor benda seni yang akan menukar koper uangnya dengan benda seni ? entahlah.
Wajahnya asing bagiku tapi cukup segar dilihat. Bukannya aku haus dengan tampang-tampang ganteng para pria tapi ya cukup enak dilihat sosok pria berkemeja putih dengan cardigan biru donker. Parfum maskulinnya lumayan segar tercium. Penampilannya rapi dan stylist, bak pria metroseksual diluar sana. Bisa kutebak dia sosok eksekutif muda yang bergerak di bidang entertainment atau sejenisnya. Semoga saja dia bukan pria metroseksual yang ‘nyeleneh’. 
“ Halo “, suara baritonnya menyapa sambil menjabat tangan. Aku hanya membalas dengan jabatan tangan dan anggukkan.
“ ini Jodi yang naksir desain lu “, papar Bet. Hah? Orang ini naksir desain isengku, hey mas buat apa, itu cuma karya iseng belaka, cuma bisa aku nikmati sendiri, rasanya aku tak percaya.
“ Oh..”, jawabku singkat karena tidak tahu harus merespon apa.
“ Dia mau pakai desain lu buat artisnya “, lanjut Bet. Hah artis? Kok bawa-bawa artis, aku benar-benar bingung.
“ buat apa ?”, tanyaku
“ ehm.. buat cover album kompilasi musisi gue “, jawabnya sambil tersenyum hangat. Musisi, telingaku seakan ingin mendengar lanjutan penjelasannya, musisi siapa ? aku semakin penasaran.
“ dia mau bikin album, gue yang ngurus semuanya.  “, jelasnya. Aku hanya mengangguk saja dan terus mendengar apa yang akan dipaparkan olehnya ataupun Bet.
“ lu tahu nggak siapa musisinya ?”, Bet semakin membuat rasa penasaranku menjadi. Rasanya telingaku tak mau berpindah dari celotehan 2 sosok ini.
“ Derian Damaro “, jawab Bet perlahan namun membuat heboh rasaku. Hah! musisi favoritku ? aku tidak salah dengar kan ? satu pun ucapan mendadak tidak bisa keluar dari rongga mulutku.
“ album ?”, tanyaku pelan.
“ Yup, kumpulan permainan akustiknya, mau dibuat  album, kata Bet lu pengagumnya ya ?”, ujar Jodi membesarkan hatiku.
“  ya suka aja denger dia main “, jawabku singkat.
“ dia udah liat desain lu dan dia suka, setelah ngobrol-ngobrol dia setuju, gue pikir itu desainnya Bet loh “, jelasnya. Rasanya aku ingin berseru hei itu karya isengku ya memang di arahakan sana sini oleh Bet.
“ Gimana Av ?”, tanya Bet sambil melempar senyum jailnya. Aku tahu Bet ingin menggodaku. Dia seakan tahu betapa sumringah mendapat penawaran ini. tapi aku tak habis pikir, seperti mendapat kejutan lagi.  Aku, Bet, dan Jodi masih terus bercengkerama dengan tawaran itu, dengan obrolan-obrolan lain pula tapi tak jauh-jauh dari projek dadakan bersama Derian Damaro, musisi favoritku. Aneh memang, aku tidak menyangka keisengan belaka membawa ini semua. Derian damaro memang sudah ku tahu lama, sebelum dia setenar sekarang dia memang sudah yahud beraksi dengan media petiknya. Musisi-musisi juara pernah diiringi olehnya hingga sekarang dia yang jadi juaranya, pilihan bersolo dan memukau banyak penikmat akustik.
J

Kabar menghebohkan ini harus sampai pula ke telinga sahabat-sahabatku. Mereka pasti terkesima sampai menganga, sketsa gradasiku di booking untuk album ‘Simply Precious Acoustic ‘ milik Derian Damaro. Seolah ada masalah serius, aku meminta bahkan mengharuskan Dev dan Dorry menghadapku di  ‘Rumah Piano’, kafe bernuansa musik, sekaligus tempat kursus musik. Aku sengaja tidak memberitahukan nya terlebih dulu, biarkan mereka berdua mati penasaran.
Aku berusaha untuk sampai duluan di ‘rumah piano’ biar kejutan yang ku lakoni berasil. Cukup jitu awalnya membuat mereka berdua panik penasaran, terang saja ku katakan aku akan terbang menyusul kakaku ke Belanda dan menetap bebrapa bulan untuk menemani kakak iparku yang tengah berbadan dua.
“ kok dadakan sih dia , kebangetan deh “, Dorry sewot sembari berjalan menuju tempatku berada, disusul Dev.
“ Mana dia ?!”, Dorry  bingung celingak-celinguk mencariku.
“ Hei !”, nada kesal bin penasarannya pun terdengar di hadapanku.
“ kok dadakan sih ?”, lanjut Dev. Mereka langsung menyerbuku dengan tatapan tajam, sebal, dan penasaran. Sementara aku duduk santai melihat ekspresi lucu mereka, ya mereka lucu, Dorry dengan wjajah sewot dipadu tatapan penasaran, Dev yang lebih terlihat jaim namun aku tahu dia pun penuh tanda tanya.
“mau sampai kapan di sana, lama nggak  ?”, tanya Dorry yang sejak tadi tidak mau diam dan terus menyerbuku dengan banyak tanya. Dev si tipikal diam-diam menghanyutkan hanya memasang wajah penasaran dan ingin segera mendapat kepastian dariku.
“  pesen dulu sana, jangan kayak orang kesetanan gitu “, jawabku santai.
“ udah lah, apa sih ?”, ujar Dev.
 “  duduk dulu yang bener, jangan ngerocos dulu,”, sahutku cepat.
“ dengerin ! “, lanjutku. Mata Dorry dan Dev semakin menatapku dengan seksama. Aku seperti mau ditelan oleh mereka bak penjahat yang diintrogasi.
“ Sketsaku yang ini dijadikan desain cover album“, paparku sambil menunjukkan sketsa gitar bergradasi dengan selipan tuts piano dan tangga nada. Aku menanti ekspresi apa yang keluar dari kedua sahabatku. Mereka masih memasang wajah bengong nan bingung.
“ Album foto ? “, celetuk Dev polos. Mendengar celetukkannya seakan mendengar deretan tuts piano yang digebrak bersamaan.
“ hah ?”, Dorry pun masih tercengang.
“ Album musik seorang musisi “, jawabku santai dan mata Dorry semakin menatapku tajam. Dev hanya mengangkat alis bingungnya.
“ Seorang musisi pakai sketsa isengku untuk cover albumnya “, jelasku lagi.
“ musisi siapa ?”, tanya Dev dan Dorry beralih melihat Dev seakan perkataan itu yang ingin dia ucapkan, namun keduluan.
“ yang kita tonton minggu lalu “, jawabku tenang. Dorry semakin terbelalak.
“ yang bener ?? kamu bohong ya “, Dorry sumringah luar biasa dan tak percaya, namun Dev seakan tidak tersambung oleh omonganku barusan.
“ Gimana ceitanya, terus soal ke Belanda ?”, tanya Dorry. Aku menggeleng lemas.
“ Apa sih ? ngomong yang jelas dong, lu nggak jadi ke Belanda, terus apa itu album album ?”, Dev masih belum tersambung. Entah pikirannya tersangkut dimana. Mungkin tersangkut  oleh kabar kabarku ke Belanda. Geli rasanya melihat wajah penasaran, seperti anak kecil yang gampang dibohongi.
“ desainku mau dipakai buat cover albumnya Derro “, jelasku lagi.
Ekspresi dua  sosok di depanku kembali seperti dua kutub magnet yang bertolak belakang. Dorry teramat sumringah sementara Dev raut mukanya menekuk, bukanlah datar lagi tapi seperti hansip mau menghajar maling. Tanpa ba..bi..bu..Dev beranjak dan melenggang, sementara aku bermain mata dengan Dorry. kami mengejarnya namun sosoknya secepat kilat lenyap. Kami saling menatap heran. Mau member kejutan tapai aku menerima banyak kejutan, salah satunya tingkah Dev yang  tak terduga. Setitik kekecewaanku mencuat, namun Dorry berusaha menghibur. Setelah menyeruput teh hijau  pesananku, aku tetap tak bersemangat lagi untuk menceritakan kesenanganku. Dorry menemaniku pulang. Ekspres sumringahnya pun berganti iba.
J

Selimut tebal  bergambar potongan-potongan puzzle masih menutup badanku yang mendadak meriang, entah karena terlalu lelah beradu dengan skenario atau memikirkan salah satu sahabatku yang mendadak aneh bahkan menghilang sejenak dari peraduan kami. TapI sang waktu memaksaku untuk beranjak dan bersiap, karena hari ini aku akan membahas projek ‘kejutan’ yang diberikan Bet bersama klien spesial. Ya memang spesial, sebelumnya aku hanya mampu menatap dan menikmati dari  tempat duduk hall tapi beberapa jam lagi aku bertatap muka, beradu mata, bahkan bersua dengannya. Sesaat Bet pun berdering mengingatkanku bak jam weker saja.
“ udah berdandan belum ?”, goda Bet dari seberang sana, entah dia sedang berpijak dimana.
“ Baru bangun, jam 11 kan ketemunya ?”, ujarku memastikan.
“ Heh, buruan siap-siap udah jam berapa ini, kan mau ketemu musisi pujaan “, paksa Bet.
 “ buruan bangun, ketemu di galeri ya”, ujarnya lagi.
“ Hmm..”, suaraku masih terdengar alto dan nyawaku masih separuh tertinggal di dunia mimpi. Beranjak dari tempat tidur rasanya berat. Mataku masih terlelap. Dengan langkah berat aku beranjak menuju toilet dan bersiap. Baiklah aku siap beradu denganmu Derro.
Aku lemas tak bersemangat, padahal sosok pujaan akan hadir beradu mata denganku. Walaupun untuk pertama kalinya aku akan bertatap muka dan beradu mata denyannya, namun tidak ada persiapan mewah apapun. Aku tak sampai mandi kembang tujuh rupa supaya wangi semerbak, aku juga tak bersalon ria supaya terlihat menawan, aku tampil seadanya tapi memang balutan sackdress ungu yang membuatku berbeda dari biasanya. Sepanjang perjalanan, aku masih diliputi rasa aneh bin bingung plus kaget karena tingkah Dev. Intuisiku seakan ingin bersua namun abu-abu ragu masih beradu. Ku coba menghubungi Dev namun deringanku sepertinya tak didengar. Selang beberapa lama malah si mbak operator yang menjawabnya. Aku kembali melanjutkan aksi kemudi.
..
“ dia belum dateng kita disini dulu eh, inget ini nggak ?”, Bet menunjuk salah satu lukisan di sebuah partisi. Aku melihat dengan seksama lukisan 3 bocah yang sedang memegang lollipop. Dengan sapuan aneka warna yang dibuat bergradasi, lukisan itu bukan membuatku kagum tapi sedih teringat kedua sahabatku Dorry dan Dev. Tak sadar aku sampai terbengong menatap lukisan itu.
“ Hmm.. bagus”, ucapku singkat.
“ itu bukan punya gue, itu lukisannya Sugondo Atmojo”, paparnya. Aku hanya mengangguk.
“semua warna juga bisa kan dibuat gradasinya”, lanjutnya. Entah mau menjawab apa, pikiranku seakan tidak berada disini. Aku banyak diam. Hanya berucap seadanya. Langkah ku menyusuri barisan benda seni milik Bet dan beberapa koleksinya.
Terdengar dari pelataran parkir sebuah mobil datang. Mataku dan Bet teralihkan ke sana. Honda city hitam pekat itu lagi. Dua kepala muncul dari balik mobil dan segera beranjak masuk galeri. Aku sudah menangkap sosok sang gitaris, namun sepertinya dia belum menangkap sosok kami disini, sampai-sampai Bet harus melambaikan tangannya kepada mereka. Dan kami pun untuk pertama kalinya bertatap muka, beradu mata, namun tak ada sua dari mulutku maupun mulut seorang Derro, bahkan yang ku tangkap tatapan tercengangnya ketika melihatku.
“ hai “, aku yang membuka suara.
“ hah.., jadi lu, yang.. “, suara Derro terbata dan tercengang melihatku bak melihat hantu. Beberapa detik dia terdiam kaku.
“ iya yang desain buat album lu “, jelas Jodi cepat, ya aku masih mengingat si pria metroseksual.
“ Oh.. ?”, jawabnya pelan.
Mestinya aku yang tercengang bisa bertatapan lebih dekat dengan musisi favoritku, tapi kenapa dia yang jauh lebih tercengang menatapku. Di matanya seperti menyiratkan sesuatu atau jangan-jangan dia pernah mengenalku ? ah mustahil. Bet mengajak kami menuju Gazebo yang bersebelahan dengan kolam ikan koi peliharaannya. Pembicaraan tentang projek ‘kejutan’ itu pun terus berlanjut. Sosok Derro tampak sama seperti  diawal tadi ketika bertemu. Pria bertubuh semampai ini sesekali tertangkap bengong dan kami, lawan biacaranya harus beberapa kali mengulang pembicaraan. Aku menjadi aneh sendiri, banyak dugaan mengapa Derro masing tampak tercengang, jangan-jangan ada yang salah dengan make up ku ? atau balutan baju ku ? atau ekspresiku ? Ehmm.. aku tak berekspresi ekstrim bak fans fanatik bertemu pujaannya, ada apa dengannya?
J

Mungkin saatnya aku menyindiri dan menyepi dibarengi menghilangnya sahabat-sahabatku, Bet si penasehat seniku, mendadak harus bertandang ke Bali untuk menghadiri pameran seni. Dorry sedang beradu dengan proyek fotografinya di Gunung Gede, sementara Dev masih menghilangkan diri.  Aku terduduk kembali dengan pekerjaan bebasku, menggarap tulisan bebas dan mereview skenario  FTV yang siap divisualisasikan oleh kawan-kawan berseniku di rumah produksi. Sebuah pesan singkat terpampang dilayar ponsel, isinya hanya ucapan terima kasih dari pihak managemen musisi favoritku, menyenangkan memang akhirnya bisa menikmati gubahan nadanya sekaligus membantu dalam proyek bermusiknya. Bukan royalti yang melegakan tapi kebanggaan.
Jariku terus beraksi diatas keypad, deretan huruf dan kata saling tersambung didalamnya. Saking asiknya aku tak berasa seorang terduduk dihadapanku.
“ Dev !!”, aku setengah berteriak menatap sosok dihadapanku. Lagi-lagi dia terdiam.
“ kemana aja, menghilang ?”, tanyaku kesal.
“ nggak kemana-mana Cuma..”
“ Cuma apa ? kenapa kemarin ngeloyor aja terus ngilang HP dimatiin, marah ?”, aku segra memotongnya. Hanya hembusan nafasnya yang terdengar. Tanpa sadar tanganku menutup keras lapotop putih yang sedang bertugas mengurai cerita.
“ kenapa ?’, tanyaku.
“ eh kebetulan lu di sini kemarin gue mau ngasih tau, desain gue dipakai “, aku terus melontarkan kegembiraan atas proyek ‘kejutan’ bersama Derro. Hembusan nafasnya lagi yang terdengar bahakan dia sampai menarik nafas panjang.
 “ jujur gue nggak suka, tapi selamat ya.”, nada tenangnya sedikit tegas. Aku terdiam seksama untuk berganti mendengarnya. Intuisiku pun kembali ingin bersua tentang sesuatu.
“ kenapa sih Dev ?’,
“ Gue nggak suka lu berurusan sama dia.”, ucapnya datar. Hei ada denganmu Dev datang tak terduga, mendadak ketus dan menyiratkan kebencian dengan sosok pujaanku ? 
“ Gue juga capek nyimpennya kelamaan “. Hei nyimpen apa, intuisiku seakan ingin menyeruak, pasti ada sesuatu. Tapi aku masih ragu dan menatinya berseru.
“ nyimpen apa ?”, tanyaku memastikan sesautu itu. Berganti wajah bingungnya mencuat, mulutnya ingin berkata namun seakan sulit.
“ nyimpen apa ? capek kenapa ?”, paksaku.
“ Gue capek, gue nggak suka lu ngomongin Derian terus, gue nggak mau sampai lu berhubungan sama dia.’, jelasnya. Sebentar lagi seperti akan  ada kejutan yang terkuak. Diliputi bermacam rasa bak lukisan abstrak bercampur baur warna, aku menunggu penjelasan Dev.
“ dia yang buat gue sakit hati… dia yang ngancurin keceriaan lu selama tiga tahun… “,ucapan terbata membuat telingaku ingin terus terbuka mendengarnya.
“ … karena…dia si penabrak sialan itu “,. Seperti ada gebrakan tuts piano, aku tercengang tapi mungkin dapat kumaklumi toh semua sudah terjadi dan terbayarkan, tapi seakan ada potongan puzzle yang menyisakan tanya. Aku terus menunggu ucapan apa lagi yang akan terlontar.
“ tapi itu,..”, ini konyol, seakan aku ingin membela diri mungkin lebih tepatnya membela musisi favoritku namun ucapanku tertahan.
“ dia udah ngerebut sosok yang berarti buat gue “, jegerr ! kali ini bukanlah bantingan tuts-tuts piano lagi terdengar mungkin lengkingan gitar listrik atau sambaran petir di siang bolong. Dev ngomong apa sih, kenapa dia mendadak frontal tak terduga begini. Aku terus mencoba menelaahnya namun tanda tanya bertambah seribu kali lipat memenuhi kepalaku.
“ dia ngerebut Lona sampai bikin gue hampir mati, lu inget ?!”, Dev seakan memaksaku untuk memutar memori pada masa kegalauannya. Tentulah aku ingat,  betapa terpuruknya Dev karena perselingkuhan terselubung Lona. 4 bulan mulutnya bungkam tanpa satupun ekspresi ataupun kata, membuat aku dan Dorry panik setengah mati. Aku pun bisa merasakannya seperti dicekoki pil pahit, kesetian 2 tahun jalinan cinta hamcur oleh hiasan perselingkuhan
 “musisi pujaan lu itu yang ngancurin semuanya, gue nggak mau itu kejadian lagi, gue nggak mau sakit lagi, Van “, lanjutnya dengan tatapan mendalam padaku.
Aku mulai mengangkap semua paparannya, ternyata beban mental itu masih menjadi bayangan pekat buatnya. Rasanya aku ingin menutup semua indera yang mengakses informasi sehingga tak ada lagi yang kutangkap. Aku masih tidak percaya, sosok berkarisma itu telah membuat sahabatku trauma cinta. Tapi sisiku yang lain, seakan mendapat kejutan-kejutan konyol. Kejutan konyol yang terpendam dan kini terkuak meledak.
“  Sekarang gue nggak mau lagi kehilangan orang yang gue sayang.. !”, jelasnya sesekali nafasnya berhembus panjang dan seperti pendongeng, mulutnya terus mengalir ucapan tak terduga.
“…..gue nggak mau, dia ngerebut lu dari gue !“, tatapannya semakin mendalam dan aku seakan ingin berteriak INI KONYOL DEVANO ! tapi tak satupun getaran suara keluar dari pita suara. Kejutan konyol apa lagi ini ? telingaku seakan ingin kusumpal kapas, namun ‘pengakuan dosa’  nya terus mengalir membuatku bergidik. Rapi sekali Dev membungkus lukisan batinnya tanpa mampu ku lihat pembauran warna rasa bahkan gradasi rasa. “ kenapa aku? Kenapa aku yang diam-diam dijadikannya media untuk menorehkan warna merah muda”, batinku terus bertutur tentang kecurangan hatinya . Aku mematung menatapnya, entah harus kesal, marah, bingung, ataukah harus mempunyai rasa yang sama denganya. Rasanya aku ingin mengaduk-aduk tinta bak lalu melemparkan ke kanvas, menjadi lukisan hitam pekat tanpa gradasi ataupun paduan warna lain.
Bersama inspirasi ku istirahatkan sejenak pikiranku dari kejutan-kejutan konyol. Dan entahlah seperti ada Roh yang membimbing, tangan isengku terus menggurat berulang sebuah sketsa ‘tangan tergenggam’. Barisan warna-warni pensil akuarel siap menyapu diatasnya. Ku tinggalkan sejenak si hitam bergradasi yang mendominasi. Aku kembali pada permainan  variasi warna. Puluhan warna saling  berpadu, bergradasi dalam satu media.  Sama halnya dengan rasaku yang ingin selalu berwarna-warni untuk kedua sahabatku Dev dan Dorry, tanpa ada 1 warna istimewa.
JJJ

`