Wednesday, April 28, 2010

Resital Tanpa Nada

dek, jangan lupa temenin kakak ya”,

Permintaan yang terus berkali-kali mencuat dari garasi ucapan kakakku tersayang sampai telinga ini enggan menerima getaran suaranya. Aku terbangun dan beranjak dari sofa empuk diruang tengah yang diduduki juga oleh kakakku tersayang. Dia sudah tidak sabar dengan resital musiknya.

Sejenak sebelum memasuki bangunan tua yang usianya jauh melebih usiaku, kaki jenjang kakakku tersayang melangkah dengan mantap menuju ruangan itu.

Aku ?..

Kaki malasku seperti enggan bertugas berpijak dan melangkah menemani langkah mantapnya. Dia hanya ingin berpijak pada sofa coklat dirumah seperti sang raga yang ingin tergeletak diatasnya. Getaran suara mulai menggangu telingaku lagi

Dek, buruan udah mau mulai nih ! kalau kelewat 1 sesi aja rugi ”

Baiklah…

Kedua kakiku yang malas ini terpaksa terus menemani langkah mantap kakakku sampai mereka memelas seakan bertutur dan kaget, “ kami lelaah,, loh, kenapa gelap begini, kalau kami menginjak tikus atau kecoak, gimana nih ?? “

Kami telah terduduk di dalamnya..

Lampu-lampu ruangan tempat pertunjukkan itu berlangsung mulai meredup dibarengi meredupnya mata sang mentari yang sayup-sayup mengantuk. Yang tetap menyala dengan penuh percaya diri hanyalah sebuah lampu-lampu sorot yang tergantung di atas panggung seakan mereka juga ingin tampil bersama para musisi yang ada di bawahnya.

Aku sejenak lega, getaran suara ‘resek’ dari kakakku tersayang tidak lagi mengganggu telingaku tapi penat dan bosan mengusik rasaku. Bayangkan 2 jam aku harus terduduk kaku ya 2 jam waktu yang tertera dalam tiket yang didesign apik oleh para pembuat resital musik ini. Mau ber’deheem..’ pun tak bisa apalagi teriaaak, KAKAK AKU BOSAN namun lain hal dengan kakakku tersayang yang begitu menikmati getaran-getaran suara alat musik dengan melodi-melodinya, terlihat dari wajahnya yang tampak terkagum atas itu semua.

Aku…

Kali ini aku tidak dapat menangkap dengan penuh arti semua getaran melodi kedalam telinga dan hatiku.

Gesekkan biola membuat kakakku tersayang tampak berkaca-kaca..

Dentingan piano membuat kakakku tersayang tampak sumringah..

Petikkan gitar membuat kakakku tersayang tampak penuh kagum..

Tiupan xaxophone membuat kakakku tersayang jatuh dalam teduh…


Tapi aku..

Hanya mataku yang mampu melihat semua itu, si kembar telinga, para kelompok rasa tidak mampu untuk menyerupai rasa yang dipunyai kakakku tersayang.Si mata mampu menangkap para pemusik anggun, menawan, dan berkarisma yang meluapkan melodi dan getaran suara medianya,membawakan gubahan-gubahan nada, namun si kembar telinga dan para kelonpok rasa seakan enggan untuk melihat mereka.

Dan,

hanyalah si hampa yang duduk bersamaku untuk melihat itu semua

Tidak seperti resital-resital sebelumnya,

Aku dan kakakku tersayang bisa berkaca-kaca bersama gesekkan biola yang terisak…

Aku dan kakakku tersayang bisa tersenyum ceria dengan riangnya dentingan piano…

Aku dan kakakku tersayang bisa sangat terkagum oleh petikkan gitar yang menawan...

Aku dan kakakku tersayang bisa hanyut dalam keteduhan sang xaxophone…

Dan inilah sebuah resital yang hanya bisa kunikmati dengan mata. Si hampa telah memblokade koordinasi si kembar telinga dan rasa. Semuanya bak resital tanpa nada, bagiku inilah sebuah resital hampa, tanpa nada, tanpa suara, bahkan tanpa rasa.

Dipenghujung melodi terakhir…

Tiba-tiba suara getaran ‘resek’ kakakku tersayang sayup-sayup terdengar dan nyaring,

dek, minggu depan kita nonton lagi ya, kalau nggak salah gitarisnya mau tampil lagi minggu depan”

dan hanya hembusan sang nafas saja yang menjawabnya…

Apakah masih bisa dan bagaimana caranya untuk bisa menikmati kembali sebuah resital dengan mata, telinga dan rasa ?? itulah pertanyaan def yang ditujukan pada batinnya dan batin setiap mata yang melihat guratan tulisan ini.


By. Me 22nd april 2010, 20;00

Kakak

Fa, temenin adikmu to “, pinta bunda dengan seruan lembutnya, hmm.. seruan lebut sampai telinga pengang.

haah.. temeni apa lagi sih, emang nggak bisa sendirian apa?”, gerutunya.

Fa, ajarin tuh, matematika pecahan, bunda uda pusing nih ngajarin Loy “ ,

Fa, ngalah dong masa sama anak kecil rebutan gitu

Fa..”

Fa..kamu kan kakkanya jadi kamu wakilin bunda ya.”

Fa…

Fa..

Arrrgggghh…..

Telinga Fa sudah kebal dengan seruan-seruan permintaan nan memaksa dari sang bunda, sang ayah, dan sang-sang lain Fa sulung dari si bungsu loy tengah penat dengan perannya dalam keluarga sebagai si sulung. Sempat tersirat pertanyaan isengnya

duluan keluar dari perut Bunda sih kebanggaan gue nih si yang pertama tapi kok jadi ribet gini sih apa-apa Fa.. kamu kan kakaknya jadi gini jadi gitu aahh.. “

Baru beberapa jam telinga Fa dimasuki getaran suara Ayah dan Bunda tentang perannya itu, kali ini sang Eyang juga menambahkan getaran suara itu dengan logat jawa medhoknya. Sang Eyang memberikan petuah-petuah terutama tentang perannya itu sebagai SI SULUNG

GUE BOSAAAN JADI SI SULUNG…

GUE BOSAN JADI KAKAKK…

ANDAI KU PUNYA KAKAK ??

Teriakan hati karena pengab dengan perannya menjadi si sulung, si kakak, si anak pertama yang merasakan duluan kasih mama sebelum hadirnya si bungsu.




Leyeh-leyeh bersama Kakak Bayangan..

Ya namanya juga jadi kakak tuntutanya juga lebih berat dan harus tanggung jawab, gue juga pernah kok ngalmain kayak lu, tapi ya di bawa santai lagi aja jangan jadi beban”, ucap si kakak bayangnnya, Lin

masa apa-apa gue apa-apa gue, “, keluh Fa.

Tiap anak kan punya peran masing-masing Fa, jadi anak bungsu juga belum tentu enak selamanya punya peran dan tanggung jawab juga, di syukurin aja mestinya bangga jadi anak sulung “, ujar Lin


Jadi adik bayangan di tengah-tengah para kakak bayangan..

dek.. partiturmu besok aku pinjem dulu, ilang nih !”, ujar kakak Cin.

Fa, coba tolong ambilin map biru itu deh coba lu cari partitur Ave Verum “, pinta cici La.

hmm.. nice peran agar bergeser nih, sejam jadi adiknya para kakak bayangan.”, gumamnya.

Mencari sosok kakak yang dapat menjadi kakak untuk si kakak

Dalam pergulatan penatnya menjadi kakak, sejenak Fa menghilang dari kebisigan kicauan, “ kamu kan kakaknya” , “ jangan gitu dong, kak,… blablablabla…”

Kakinya mantab melangkah ke ruang latihan koor di ruang musik gereja. Wajah yang tampak bersemamgat dan sumringah karena dia an bertemu dengan para kakak. Fa merupakan anggota termuda dalam kelompok paduan suara gereja, sementara teman-teman lainnya berusia diatas usia dirinya, oleh karena itu Fa tampak senang seklai perannya sejenak bergeser.

Setiap jumat peran gue bisa sejenak berganti, bosan jadi kakak”, ucapnya pada batinnya.

Itulah yang dirasakan Fa ketika bersama dengan para kakak bayanganya apalagi jika mereka semua bisa membuat keisengan padanya, sosok adik dalam dirinya pun mencuat, minta dimanajakan oleh para kakak.

Fa, lu kan sama dia udah klop tuh, gue liat juga pas kalo jalan bareng kenapa nggak mau??”, Tanya pat saat mereka berbincang tentang sang pengisis hati.

emang seru bersamanya tapi masih labil juga kayak gue “,

So? Mau seperti apa?”, Tanya pat lagi.

mencari seperti seorang kakak, gue nggak mau malah jadi kakak terus kalo jalan sama dia, dirumah udah ‘ngemong’ terus masa pacaran juga smaa perannya, ganti peran ah..”, jawabnya santai dan mantab.

tetep mencari sosok kakak, mendingan lu tuh ssana jalan sama Mas Kei, nggak Cuma bakal jadi kakak aja, bisa jadi bapak lu !”, ujar Pat asal dan kesal.

Weitzz.. peran bokap udah terpenuhi nggak bisa di tambah lagi, peran kakak yang kurang nih”, jawabnya manatab.

Dalam pikiran dan harapan mendambakan sosok kakak. Fa memang lebih sennag bergaul dengan para kakak dibandingkan dnegan teman sebayanya, ya masih ingin ttetap merasakan peran yang berbeda.

Fa termenung…

emang salah apa, bergaul dengan kakak-kakak, banyak dibimbing, banyak dapet pandangan bijak malah, kok dibilang aneh sih ??”

hmm… kapan gue latihan lagi bersma mereka, rindu nih dengan para kakak…”

andai aku punya kakak..”

Seorang sulung yang sesaat penat dnegan peran sulungnya dan mencari yang lebih sulung darinya untuk dapat ‘ngemong’ dirinya. Dia ingin merasakan betapa enaknya menadi adik bahkan adik bungsu..


By me April 22nd 2010 08 :39

Tulisan usang (part 4) ; Lempar Bola Salju

Kawanan daun tampak lelah dan saling menjatuhkan diri ke tanah. Cerry-cerry kecil pun tidak tampak tergantung lagi pada keluarga ranting, mereka melayang tertiup sang angin dan entah kemana mereka berpijak..

Di halaman belakang rumah, Keluarga Pak Apel pun tak tampak bergoyang dengan riang. Seakan mereka pergi dan yang tampak lagi-lagi keluarga Ranting; Pak ranting, Bu ranting, anak-anak ranting, dan Kakek batang yang masih kokoh dalam usia senjanya…

Kanvas langir tampak tertoreh sketsa kumpulan awan dengan rona biru pucat …

Dan…

Butiran-butiran putih terjun bebas dari mata Mama awan seakan mama awan sedang menangis dan luapan air mata mutiara nan dingin…

Butiran-butiran dingin itu tersangkut pada para ranting menggantikan para cerry yang sebelumnya tergantung riang disana…

Betapa dinginnya badan butiran-butiran putih itu sampai keluarga ranting harus tahan untuk tidak menggigil karena harus menopang butiran-butiran itu diatas badannya..

waaahh…” butiran-butiran itu pun menutupi kepala tuan Rumah, sekarang kepalanya seperti seorang Opa yang sudah memasuki usia senjanya..

Sebuah pintu terbuka, Na tampak riang melihat lukisan alam yang ada di depan matanya. Butiran-butiran putih nan dingin itu masih bertaburan dan berjatuhan ke tanah. Na mulai memijakkan kakinya pada butiran-butiran putih yang telah menyatu dengan tanah. Tangannya terbuka dan wajahnya menatap Mama awan yang masih terisak dengan air mata mutiara nan dingin itu. Sesekali dia melihat ke sekeliling halaman rumahnya, melirik pada keluarga ranting yang pasti sudah menggigil sejak tadi karena butiran-butiran putih itu menindih badannya yang ramping. Na berpijak, melangkah, dan berlari di hamparan salju yang turun…


Di rumah yang lain..

Mama Bo sedang menasehati Bo agar dia tidak bermain diluar karena salju sedang turun dengan hebatnya. Tetapi Bo pun mengagumi lukisan alam yang tengah ia lihat dari jendela kamarnya. Bo bersikeras untuk keluar dari rumahnya dan ingin merasakan butiran-butiran dingin bak air mata mutiara Mama Awan.

Pintu pun terbuka…

Bo pun akhirnya diperbolehkan untuk bermain bersama sang butiran dingin itu. Bo hanya berpijak tak jauh dari pintu rumahnya dan hanya berdiam melihat lukisan alam di depan matanya, karena dia masih teringat oleh pesan mama untuk tidak bermain dengan butiran dingin itu. Tangannya sesekali menengadah terbuka menampik salju yang tururn..


Na…

Masih berlarian, berputar di halmaan rumahnya berdansa dengan pohon cerry-nya. Tiba-tiba dia teringat boneka salju yang dihadiahkan oleh sang mama padanya,

aku mau membuat Mr. Cool ah..”

Na berjongkok, dengan kedua tangnnya dia mengambil segenggam demi segemnggam butiran dingin yang telah mengumpul itu. Dia mulai membentuk bulatan-bulatan kecil, sedang, dan besar

Dan

Waaaww… Mr. Cool sudah jadi, tapi kurang seru nih ??”

Pandangannya kemudian memotret Bo yang hanya berdiam di depan pintu rumahnya dan tidak merasakan seperti yang ia rasakan.

ahaa..”, sebuah ide mencuat keluat dari kepala mungilnya.

Tangannya kemudian mengambil butiran-butiran membentuk gumplan salju bak bola kasti

Dan “ Bluukk…”,nyaris lemparan itu menegnai wajah Bo. Bo yang sedang terdiam menikmati salju dari ruang yang terbatas, seperti tersadar dari mimpinya. Matanya menajam pada Na yang melempar gumpalan salju itu sambil tangannya melamabai kearah Bo.

Sekejap tersirat keinginan untuk lebih menikmati butiran dingin itu dan tidak memperdulikan demam pada raganya. Dengan langkah yang banyak dari pintu rumahnya. Bo pun akhirnya melangkah untuk megambil salju yang telah menyatu denga tanah itu

Dengan mengerahkan segala tenaganya Bo melempar kembali gumpalan salju putih kearah Na dengan maksud membalas lemaparan Na.

Dan, “ Bluuukk!”, tepat sasaran, bola salju itu melesat di wajah Na..

tersirat senyum Na karena berhasil mengajak bermain Bo, menikmati taburan butiran-butiran putih itu

Tetapi…

Bo melangkah mantab menuju si Mr. Cool dan Na tanpa senyum Bo melempar lagi gumpalan butiran dingin itu kewajah Na

Rasa senang kemudian berganti dengan rasa bingung dan kesal..

Na membuat tameng dari tangan mungilya agar bola-bola alju yag dilemparkan tidak mengenai wajahnya. Rasa senang masih hinggap namun diliputi rasa kesal

Lemparan Bo kali ini meleset sekarang beralih pada Mr.Cool

dan..

Oh..tidak ??”, Na mengeluh dan kecewa.

Kenapa kau hancurkan Mr. Cool ku ??”, Tanya na pelan.

Kenapa kau menimpukku duluan dengan bola salju ini ?”

Aku hanya ingin mengajakmu menikmati butiran-butiran dingin yang sedang bertaburandan bergelimpangan di alas ala mini, karena ini sungguh menarik ketimbang hanya berdiam dan menikmatinya dengan mata saja “

Kau menggangguku dengan bola saljumu, jadi bola salju ini sekarang yang melesat pada mu”

Bluukk…”, Bo melempar lagi gumplaan salju yang dia buat

Bluuukkk”, Na pun melakukan hal yang sama karena sudah 2 kali wajahnya beradu dnegan gumpalan salju kiriman Bo.

Dan mereka terhanyut dalam permainan lempar bola salju…

Butiran-butiran dingin yang saling menggumpal, melayang, terlempar dari tangan-tangan yang tengah menggigil pula karenannya.



By me April 21st 2010, 16:38

Monday, April 19, 2010

Tulisan Usang (part 3) ; Si Emosi Lelah


Sudah beberapa kali tangan terus menyeka setetes beban yang keluar dari jendela berdebu dan tampak buram

Semburan udara yang menyesakkan pun turut keluar dari garasi ucapan dan cerobong nafas

Kadang terlihat 2 mama dan 8 anak jari saling beradu mengepal , ingin melayang dan menghempaskan diri pada sebuah beton hati..

Getaran suara pun sejenak sayup-sayup terdengar dan kadang hilang

fiuuuuuhh….” Si nafas keluar dari pusat nafas, dia terbang melelangbuana pada dunia yang sanagt luas bertemu dengan nafas-nafas lain..

Tetapi tidak hanya nafas dan semua itu yang ingin keluar,

Berbagai emosi ingin keluar untuk tampil pada konser hdup

Namun seakan mereka terhadang pohon tumbang di depan pintunya

Mereka saling dorong mendorong, tarik-menarik menyatukan diri untuk menerobos itu semua

Si marah dengan geramnya,

Si sedih dengan isakkannya,

Si kesal dengan cueknya,

Si galau dengan sendunya,

Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk menerobos keluar, mendobrak pintu itu dan mengangkat pohon tumbang itu. Mereka ingin keluar dan menghantam pohon itu

Namun..

Mereka lelah..

Untuk sekian kali jiwa ini dicubit, ditampar, dihantam dengan sesuatu yang tak tersentuh oleh kulit, membuat para emosi tadi terduduk lemas, lesu, dan lunglai tak mampu mendobrak pintunya dan menyeret pohon tumbang itu

Si kesal lesu…

Si marah lemah..

Si sedih terisak..

Si galau terdiam

Mereka lelah ketika sebuah raga di hantam untuk kesekian kalinya oleh Kristal es yang menusuk dengan diamnya. Si pikiran pun kehilangan energinya dan ikut larut dalam kelelahan itu..

fiuuuuuhh…….”,si emosi lelah, aku pun lelah, dan kami terkapar dalam kelelahan



By me April 15th 2010, 18:07

Merpati Pos


Disini tidak ada seorang pak pos yang bisa mengantarkan banyak berita, mulai dari surat, paket cantik, ataupun sebuah wesel dengan sepeda ontelnya, karena Pak pos yang renta tengah tergolek renta dalam tidurnya. ..

Disini tidak ada kabel-kabel kecil dan besar, satelit-satelit canggih yang mampu mengirimkan ribuan, jutaan, bahkan triliunan kabar dari seorang sahabat pena kepada sahabat pena lainnya yang tinggal saling berjauhan, bak antar bumi dan langit, kutub utara-kutub selatan...

Disini hanya ada pengantar kabar sederhana dalam rupa yang sederhana. Seekor Merpati Pos yang tak mengharapkan kau bayar dengan kepingan dan berlembar uangmu. Dia hanya mengharapkan sebutir ya hanya sebutir jagung yang Ibumu beli di pasar sewaktu sang mentari masih sayup-sayup membuka matanya…

Merpati Pos dengan bulu-bulu yang sudah bebrapa kali rontok karena hantaman angin saat ia harus terbang kesana kemari mengantarkan kicauan kabar indah maupun duka cita pada mereka yang mengharapkan kicauan itu datang

Aku pun sama seperti mereka yang berharap datangnya sebuah kicauan kabar, entah apakah itu kicauan manis ataukah pahit, sepahit pare yang dimasak ibu dalam membuat hidangan sederhana untuk Ayah. Aku tidak peduli si merpati pos akan membawa kicauan kabar apa, yang kuharapkan si merpati pos dapat kulihat, kudengar kicauannya…

Kicauan yang terus kunanti setiap pagi, saat aku akan beranjak pada tempat peraduan nasibku, saat ku sejenak ‘leyeh-leyeh’ menyeruput satu buah kelapa muda segar, saat aku termenung mencari inspirasi di teras rumah sembari melihat mentari mulai sayup-sayup mengantuk, aku terduduk dan terus memanti kicauan merpati pos…

Aku telah memberikan suatu kicauan kabar manis nan sederhana dalam rupa segala ide dan perenungan pada sebuah negri salju. Suatu keyakinan dan harapan merpati pos datang dan hinggap kembali bersama ku, memberikan kicauannya baik itu kicauan merdunya atau kicauan risaunya karena sempat beku dalam negri salju itu…

Tiba saatnya pada penghujung sore yang tampak redup, mungkin sang mentari sudah menyelimuti diri dengan anak-anak awan, aku masih terduduk di teras rumah dengan menduduki kursi rotan yang usianya melebihi usiaku. Aku terduduk, berpikir, merenung, dan tetap berharap merpati pos hinggap di atap rumahku atau hinggap di depan jendela kamarku, dan memberikan kicauannya. Tapi sesekali yang hinggap adalah pikiran gelap bak seekor gagak hitam yang hinggap…

Merpati pos, sang pembawa kicauan kabar masih aku tunggu dengan segala rasa, asa, dan doa . dan aku tidak peduli jika ia datang dengan kicauan macam apa, jika dia datang hinggap dan berkicau merdu aku tidak hanya memberikan sebutir tapi satu buah jagung ini namun jika ia datang dengan kicauan risaunya atau kicauan mengigilnya karena dinginnya salju itu, aku tetap akan tetap memberikan jagung ini namun akan ku tambahkan dengan segenggam doa untuknya…

merpati pos, kau telah membantuku menebarkan kicauanku yang mungkin jauh dari merdu kicauanmu kepada sang penikmat kicauan merdu itu, namun kembalilah dan hinggaplah bersama ku dalam santai sore ini dan berikan aku sebuah kicauan yang kau dapat darinya.”..

Sekarang aku masih berdiam, duduk, termenung, berpikir, dan mengadu kepada Sang Pembuat Kicauan Agung bagaimana aku bisa mendengar kicauan yang kau bawa dari sebuah negeri salju. Aku hanya mengharapkan sedikit kicauan entah itu kicauan manis atau pahit, entah kicauan itu pelan ataukah nyaring…


By : me April 14th 2010 , 02: 28

Sampai tertulisnya sebuah kicauan yang jauh dari merdu ini, masih tetap menantikan merpati pos datang dan hinggap membawa kicauannya dari sebuah negri salju yang sulit dan tidak akan pernah tersentuh oleh pijakan rasa.


Tuesday, April 13, 2010

Tulisan Usang (part 2) ; Entah Mau apa di Alam Tulis ini ??



Di sebuah area yang luas melingkar, oh… tidak melingkar, tapi cukup banyak sudutnya, aku terduduk bersama seorang teman kecil ( bukan teman dari kecil tapi memang dia mungil seperti adikku yang ada di rumah) Kami terduduk saling beradu dan berpadu dalam alam tulis kami, jiwa kami terhanyut kedalam alam tulis kami sementara sang raga masih tetap berpijak pada alam nyata …

Kami saling berhadapan namun mata kami, pikiran kami, jiwa kami, dan hati kami saling terbawa terbng dalam alam tulis kami yang pasti berbeda arah..

Si teman kecil yang sedang melukiskan apa yang tidak dia ketahui tentang dirinya pada surat yang sejak tadi dia tuliskan. Nnamun angin-angin sejuk datang, sehingga dia terhanyut dalam kesejukkannya, tergeletaklah surat yang dia tulis kepada yang tak pernah tersampaikan olehnya…

Aku..

Aku pun masih terduduk santai ditengah gejolak-gejolak yang semakin mencuat dalam jiwa dan hati. Angin-angin sejuk pun mendekatiku dan ikut menggelitikku seperti dia menggelitik pikiran Si teman kecil yang ada di hadapanku ini.

Di alam tulis ini kami berjalan tanpa arah dan bingung untuk berpijak pada suatu inspirasi mana. Begitu banyak dedaunan kering yang hinggap pada bahu, tangan, dan kepala kami.

Aku..

Berjalan kearah kanan mencari pohon sejuk untuk sejenak menyejukkan dan melepas gejolak tapi kakiku masih ingin berjalan mencari si inspirasi itu

Si Teman kecil..

Dia pun berjalan kearah lain dari ku namun kulihat dia telah terduduk pada batu besar dengan buku saku kecil di pangkuannya, mungkin itu surat yang sedang dia tulis…

Kami datang bersama pada alam tulis ini dan terpencar mencari sesuatu yang mampu untuk memenuhi yang hati kami, jiwa kami, dan pikiran kami butuhkan..

Aku..

Lelah..

lelah berjalan untuk mencari penyejuk itu, aku pun terduduk dengan wajah penuh harapan merasakan desiran angin penyejuk yang datang…

Si Teman kecil..

mulai memainkan media tulisnya sepertinya surat yang akan ia berikan pada entah siapa itu, hampir selesai. Angin-angin sejuk masih menggelitikknya sehingga sesekali media tulisnya pun terdiam dan bergumam, “ hey.. kok menghentikan aku menari diatas suratmu ??””

dan…

Kami adalah 2 penulis yang tengah berpadu di alam tulis kami, jiwa kami masuk kedalam alam tulis kami, namun raga kami tetap berpijak pada alam nyatanya.


by me april 12th 2010, 14 : 56 @ Food Court Plaza Semanggi

inspiredby : Apa yang dilihat, didengar, dirasa ketika berada dan berpadu mengkemas ‘diary dalam bentuk lain’ bersama Patricia “ Onya” Sonia di alam tulis ini.

Ayo nyaa, kita kemas dengan manis nan unik, ‘diary dalam bentuk lain’ ini !!…”

Monday, April 12, 2010

Pelukan Bunda


Bunda…”, panggil si kecil

Bunda…”, panggilnya lagi

Bunda dimana sih ”, si kecil terus memanggil Bundanya dengan nada agak cemas.

Bun..??”

Nda..??”

... ???”, si kecil terdududk lelah di samping bantal monyet orange-nya. Tatapannya kosong dan bingung. Setelah seharian dia mencari Bundanya. Tangan kanannya memangku wajah bulatnya dan dia pun termenung, sesekali dia bergumam, “ Bunda.. dimana??”

Berganti hari…

Si kecil berlari dari kamarnya menuju ruang tamu dan akhirnya keluar dari rumahnya untuk bermain bersama teman-temannya. Seharian dia bermian sampai lupa untuk makan siang, tidur siang, dan membuat PR-nya bahkan panggilan Bundanya pun tak terdengar.

Setibanya di rumah, dia merasa haus, karena seharian bermian di luar rumah. Si kecil pergi ke dapur untuk mencari minuman segar atau makanan siap saji untuk dia santap. Namun tak ada. Dia berteriak kembali memanggil Bundanya,

Bunda..”

Bunda..”, panggilnya lagi. Namun tak ada jawaban

Sambil membuka-buka kulkas, si Kecil menggumam kembali,

Bunda dimaan sih ?? “,

Aku haus..” , gumammnya lagi. Kemudian dia berjalan lunglai menuju sofa empuk yang ada di depan tivi.

Bunda pergi..??”, tanya si kecil pada dirinya sendiri.

Bunda pergi kemana??”, gumamnya lagi.

Sepertinya Bunda pergi sejak kemarin?”.

Dia pun berbicara pada si bantal monyet namun tak ada jawaban pula. Ya si bantal monyet memang tidak bisa menjawab, bicara pun tak bisa.

Tangan kirinya menopang dagu mungilnya dan tatapannya penuh bingung.

Bunda ?? aku kangen Bunda, Bunda pergi kemana??”, sambil menatap layar tivi yang sedang tidak ia nikmati.

Dari kemarin Bunda nggak ada, sekarang aku laper, dan kangen sama Bunda, Bunda Dimana?? “, matanya mulai berkaca-kaca.

Dan…

Dia pun terisak sampai akhirnya terlelap karena lelah…

Sebuah taman bermaian di dunia mimpi…

Si kecil lari kesana kemari bersama beberapa anak lain, namun dia terus menarik Bundanya untuk bermain bersamanya. Bebrapa saat dia menghentikan gerak larinya, dan berkata pada Bunadanya,

Bunda jangan tinggalin aku ya?”, pinta si kecil pada Bundanya yang tengah duduk di hadapannya.

Bundanya bersuara, “ Aku tidak pernah meninggalkanmu kok, aku selalu bersamamu. “

Tapi kemarin Bunda nggak ada?”, tanyanya heran.

Bunda pun menjawab dengan penuh keibuannya, “ Aku ada, kamu yang tak menyadarinya, karena kamu asik sekali bermain sampai kau lupa bahwa aku berasamamu. “, senyum manis Bunda terlempar pada wajah si kecil yang diliputi keresahan. Si kecil pun tertunduk sejenak lalu dipeluknya Sang Bunda..

Dalam dekapan Bunda si kecil merasakan rasa nyaman yang amat dasyat dan tak mau sekalipun ia lepaskan dekapan itu….

Matanya kini telah terbuka..

Dekapan bantal monyet berwarna orange berganti dengan dekapan pelukan Bunda yang selalu dia cari. Si kecil merasa kehilangan wajah, dekapan, dan senyuman Sang Bunda, sampai-sampai si kecil harus terisak dan hanya mendekap si bantall monyet itu. Namun kini berganti dekapan Sang Bundalah yang ia rasakan.

Sejenak dia bertutur, “ Aku mau bersama Bunda”

Dengan senyum manisnya dan naluri keibuannya, Sang Bunda terus mendekap mesra si kecil.

Aku yang sempat terlepas dari pelukan hangat Bunda, ingin kembali merasakan pelukan kasih yang begitu hangat dari Bunda. Karena Bunda yang senantiasa bersama ku. “


by . me April 9th 2010, 02:19

Inspiredby : Bunda yang selalu hidup dalam Rosario merahku dan selalu mendekapku dengan pelukan kasihNya dalam kehidupanku, Bunda Maria jangan pernah tinggalkan aku. Aku ingin selalu dalam pelukanMu


Lukisan Awan

LUKISAN AWAN

Dari balik jendela ruang tamu, Alloy memandang keatas dan berkata, “ awannya orange!”. Terdengar perkataannya aku pun beranjak dari tempat dudukku untuk melihatnya bersama alloy, sebelum aku ikut melihat sang awan yang ‘katanya’ berwarna orange itu, aku bertanya, “ masa iya awannya orange?”. Alloy menunjukkan padaku bahwa sang awan terlukis dengan warna orange.

Ternyata benar yang dikatakan Alloy, awan yang terlukis berwarna orange terang namun ada sedikit biru gelap di sisi lain yaitu di ujung sana. Aku bergumam, “ tapi yang di sana tampak gelap?” dibagian lain terdapat awan-awan kecil yang terlukis menggulung seperti anak-anak awan yang sedang berkerumun bersama mama awan dan papa awan. Aku dan alloy masih memandang para awan yang terlukis itu dari balik jendela.

Karena terhalang oleh sang kaca aku pun memutuskan untuk keluar dan melihatnya dari luar. Waahh memang benar awannya berawarna orange kekuning-kuningan, masih tampak sinar si mentari yang bersembunyi dibawahnya. Aku memutar badan ke arah lain, aku pun melihat si anak-anak awan yang tengah berkerumun, menggulung, warna biru cerahnya terlihat di sana. Tetapi di barisan ujung anak awan, warnannya tampak gelap. Orange kekuning-kuningan, biru yang cerah, dan biru gelap tercoret di kanvas besar itu. “ jepret !”, terbidiklah lukisan awan pada senja yang akan berganti malam.

.

Di hari lain…

Kali ini aku terduduk di belakang kursi kemudi mobil. Aku menatap keluar ingin rasanya kaca ini kubuka namun debu jalanan bisa membuatku bersin-bersin nanti. Aku menatap keluar di sisi jalan terhampar tanah yang cukup luas tanpa satu pun bangunan seperti sebuah lapangan, ya itu sebuah lapangan terbang untuk pesawat-pesawat mini berlatih. Aku terus menatap kearah lahan luas itu. Kanvas besar yang terlukis berbagai awan itu dapat jelas kulihat. Sama seperti sebelumnya, Aku melihat awan yang tercoret kemerahan namun masih ada sisa si mentari sehingga rona kuningnya pun masih sayup-sayup terlihat. Tapi aku tercengang kali ini saat melihat di sisi lain. Tergambar seekor kelnci sepreti di film-film kartun, sedang berdiri layaknya manusia berdiri. Tampak telinganya yang panjang terlukis disana. Awan kelinci biru itu membuatku terkagum. Warna biru yang menggelap membentuk postur badan kelinci, seaakan dia bisa berdiri seperti manusia yang sedang berdiri dan hendak berjalan.

Aku kembali dicengangkan oleh lukisan lain pada kanvas besar itu..

Masih sama seperti gambar kelinci biru itu, kali ini aku pun melihat seperti wujud gambar sosok manusia dengan kedua tangannya membuka seperti seorang yang sedang menyambut tamunya datang, sseprti seorang Ayah yang menyambut anak-anaknya pulang, seperti seorang kakek yang sedang menyambut cucunya yang masih kecil berlarian kepelukkannya. Aku berpikir tentang gambar itu, gambar mausia itu seperti lukisan Tuhan Yesus yang terpasang di dinding ruang TV, dengan kedua tangannya terbuka seperti sedang menyambut semua muridnya datang. Dari balik kaca mobil aku masih memperhatikan awan berbetuk manusia itu, warna yang membiru agak cerah. Sejenak aku bergumam, “ hmm.. seperti gambar yang ada dirumah yaa, tangnnya seperti hendak menyambutku”

Mobilku terus melaju sampai akhirnya aku pun melewati lahan luas itu dan tak dapat terlihat lagi gambar-gambar dan warna-warna awan yang terlukis di kanvas besar itu, karena harus berganti dnegan warna awan hitam dengan kilauan benda-benda langit malam…

Aku hanya bisa melukisnya dalam kanvas kecilku

Tetapi Dia bisa melukisnya pada kanvas besar dan membentuk berbagai lukisan awan yang sangat mengagumkan..

Pameran lukisan awan telah kulihat, selanjutnya akan kulihat lagi lukisan-lukisan awan yang tercoret pada kanvas besarNya..

Sungguh Engkaulah Sang Pelukis Awan yang membuatku sangat mengagumi Lukisan Awan ini..


By : me April 5th 2010, 23 : 39


Tulisan Usang




hanya ditemani beberapa ratus lagu-lagu yang dicari dari segala pelosok duina maya maupun nyata tanpa ada satupun yang menggubris terikan hati seorang yang tengah terduduk selama beberapa jam lalu didepan seuah komputer lipat, menantikan jawaban-jawaban atas pesan-pesan singkat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat dan para tong sampah.
Rasa bosan diliputi rasa kesal, jenuh, dan ingin marah tapi seakan tak tersampaikan kepada siapapun hanya bisa tersampaikan lewat tulisan yang terketik di layar komputer lipat yang selalu terlihat bodoh dan terus ditipu oleh virus-virus nakal yang menyelinap masuk saat ia tertidur.
Ingin berteriak mnyuarakan isi hati tapi tak satupun telinga mendengarnya, seakan semuanya sedang mendengarkan suara lain entah mereka sedang mendengar suara apa sampai teriakan ini sulit bahkan tidak terdengar..
Hanya menghela napas yang sangat panjang untuk kesekian kalinya.
Jari yang terus bermain diatas keypad dan terus menuliskan isi otak yang ingin keluar
Dan sekarang ingin berteriak lagi, lagi, lagi dan lagi
“ HEEYYY…. SAYA BOSAAANN !!”, ujar sang mulut
Semua rasa yang saling bercampur, entah bercampur dihati atau otak, mungkin keduanya, dan bingung mengeluarkan ekspresi seperti apa
Hanya tulisan usanglah yang tercipta entah ini bermakna apa Mungkin tulisan usang inilah yang hanya bisa dimengerti oleh sang penulisnya saja
Tulisan usang bak sampah yang siap dibuang di tempat sampah. tapi entah tempat sampah mana yang mampu menampungnya.
Fiuuuhhh…… dan kembali menghela napas untuk kesekian kalinya…

By. Me march 27th, 2010 13 : 21

Tuesday, April 6, 2010

DIAM

Diam

Sejenak si mata menutupkan kelopaknya dan tertidur sejenak dari tugasnya …

Telinga berusaha menyaring suara sayup-sayup nan tenang dan membuang sejenak bunyi-bunyian bising

Raga seakan ingin sejenak santai dalam ketenangan..

Pikiran rasanya enggan bekerja sangat keras dan hanya ingin berkoordinasi dengan telinga untuk menyerap suara penenang itu..

Sang kulit pun ingin menyentuh sensasi penenang itu..

Aku terduduk diam dengan mata yang terpejam dan berusaha membuang sejenak batu-batu pikiran yang keras yang selalu harus diangkat..

Telinga menyaring suara penenang itu dan aku terbawa di dalamnya..

Detak jantung yang masih berdenyut namun ritmenya yang stabil tidak seperti sebelum ini, berlari kencang seperti seorang anak kecil yang sedang dikejar anjing.. denyut yang stabil berirama dalam tubuhku

Semkain dapat terdengar suara penenang itu sehingga bunyi-bunyian bising itu pun memudar, memudar, dan menghilang dari pendengaranku.

Sang kulit pun mampu merasakan hembusan nafasku sendiri dan nafas alam yang menemaniku saat aku berdiam…

Beberapa detik…beberapa menit.. aku berdiam menikmati semuanya itu, semua organ seperti bersantai sejenak dari tugas-tugas beratnya..

Aku masih terduduk dan berdiam menikmati yang namanya sendiri tanpa bunyi-bunyian bising. Bunyi-bunyian bising sejenak terganti dengan sura penenang…

Aku masih berdaim..

Dan nafas harapan itu pun terhirup kedalam hidungku, supaya ketika sang mata, telinga, pikiran, kulit, dan seluruh organku bertugas kembali pada tugas beratnya, mereka bisa lebih bersemangat.

Aku masih berdiam…

Sebuah ide terloncat kepada sang pikiran dan hatiku, mereka ingin berkata padaNya

kemudian berucap,

“ Terima kasih atas semuanya untuk hari ini”

“ Terima kasih atas diam ini, diam yang mampu menyejukkan”

“ Terima kasih atas kehadiranMu dalam diam ini “

Dan aku masih berdiam …

sampai sang mata kembali bersemangat melihat lukisan kehidupan yang terlukis dengan berbagai warna, Sang telinga kembali bersemangat mendnegarkan celotehan, bunyi-bunyian, bahkan teriakan bising yang kadang membuatnya sakit, Sang kulit yang bersemangat merasakan setiap rasa yang tersentuh padanya

Dan seluruh organ juga bersemangat menjalankan tugasnya…


By: me April 5th 2010 , 22:08

Thx to seorang teman yang memberikan suara penenang ini, sejenak saya mampu berdiam dan menikmati diam ini