Wednesday, April 28, 2010

Resital Tanpa Nada

dek, jangan lupa temenin kakak ya”,

Permintaan yang terus berkali-kali mencuat dari garasi ucapan kakakku tersayang sampai telinga ini enggan menerima getaran suaranya. Aku terbangun dan beranjak dari sofa empuk diruang tengah yang diduduki juga oleh kakakku tersayang. Dia sudah tidak sabar dengan resital musiknya.

Sejenak sebelum memasuki bangunan tua yang usianya jauh melebih usiaku, kaki jenjang kakakku tersayang melangkah dengan mantap menuju ruangan itu.

Aku ?..

Kaki malasku seperti enggan bertugas berpijak dan melangkah menemani langkah mantapnya. Dia hanya ingin berpijak pada sofa coklat dirumah seperti sang raga yang ingin tergeletak diatasnya. Getaran suara mulai menggangu telingaku lagi

Dek, buruan udah mau mulai nih ! kalau kelewat 1 sesi aja rugi ”

Baiklah…

Kedua kakiku yang malas ini terpaksa terus menemani langkah mantap kakakku sampai mereka memelas seakan bertutur dan kaget, “ kami lelaah,, loh, kenapa gelap begini, kalau kami menginjak tikus atau kecoak, gimana nih ?? “

Kami telah terduduk di dalamnya..

Lampu-lampu ruangan tempat pertunjukkan itu berlangsung mulai meredup dibarengi meredupnya mata sang mentari yang sayup-sayup mengantuk. Yang tetap menyala dengan penuh percaya diri hanyalah sebuah lampu-lampu sorot yang tergantung di atas panggung seakan mereka juga ingin tampil bersama para musisi yang ada di bawahnya.

Aku sejenak lega, getaran suara ‘resek’ dari kakakku tersayang tidak lagi mengganggu telingaku tapi penat dan bosan mengusik rasaku. Bayangkan 2 jam aku harus terduduk kaku ya 2 jam waktu yang tertera dalam tiket yang didesign apik oleh para pembuat resital musik ini. Mau ber’deheem..’ pun tak bisa apalagi teriaaak, KAKAK AKU BOSAN namun lain hal dengan kakakku tersayang yang begitu menikmati getaran-getaran suara alat musik dengan melodi-melodinya, terlihat dari wajahnya yang tampak terkagum atas itu semua.

Aku…

Kali ini aku tidak dapat menangkap dengan penuh arti semua getaran melodi kedalam telinga dan hatiku.

Gesekkan biola membuat kakakku tersayang tampak berkaca-kaca..

Dentingan piano membuat kakakku tersayang tampak sumringah..

Petikkan gitar membuat kakakku tersayang tampak penuh kagum..

Tiupan xaxophone membuat kakakku tersayang jatuh dalam teduh…


Tapi aku..

Hanya mataku yang mampu melihat semua itu, si kembar telinga, para kelompok rasa tidak mampu untuk menyerupai rasa yang dipunyai kakakku tersayang.Si mata mampu menangkap para pemusik anggun, menawan, dan berkarisma yang meluapkan melodi dan getaran suara medianya,membawakan gubahan-gubahan nada, namun si kembar telinga dan para kelonpok rasa seakan enggan untuk melihat mereka.

Dan,

hanyalah si hampa yang duduk bersamaku untuk melihat itu semua

Tidak seperti resital-resital sebelumnya,

Aku dan kakakku tersayang bisa berkaca-kaca bersama gesekkan biola yang terisak…

Aku dan kakakku tersayang bisa tersenyum ceria dengan riangnya dentingan piano…

Aku dan kakakku tersayang bisa sangat terkagum oleh petikkan gitar yang menawan...

Aku dan kakakku tersayang bisa hanyut dalam keteduhan sang xaxophone…

Dan inilah sebuah resital yang hanya bisa kunikmati dengan mata. Si hampa telah memblokade koordinasi si kembar telinga dan rasa. Semuanya bak resital tanpa nada, bagiku inilah sebuah resital hampa, tanpa nada, tanpa suara, bahkan tanpa rasa.

Dipenghujung melodi terakhir…

Tiba-tiba suara getaran ‘resek’ kakakku tersayang sayup-sayup terdengar dan nyaring,

dek, minggu depan kita nonton lagi ya, kalau nggak salah gitarisnya mau tampil lagi minggu depan”

dan hanya hembusan sang nafas saja yang menjawabnya…

Apakah masih bisa dan bagaimana caranya untuk bisa menikmati kembali sebuah resital dengan mata, telinga dan rasa ?? itulah pertanyaan def yang ditujukan pada batinnya dan batin setiap mata yang melihat guratan tulisan ini.


By. Me 22nd april 2010, 20;00

No comments:

Post a Comment