Tuesday, May 17, 2011

Dentingan Angan


Berbalut gaun ungu kesayanganku, aku masuk ke dalam sebuah hall kecil tempat kami memadu nada dan irama. Suasana yang tidak begitu ricuh, mendukungku untuk sejenak menarikan kawanan jari diatas barisan tuts hitam-putih. Dari arah pintu satu persatu kawan-kawanku masuk untuk berolah nada dan suara. Perlahan aku menjentikkan si telunjuk yang kemarin nyaris tertusuk. Kemudian kawanan jari lainnya menyusul seperti kakak yang tiba-tiba menyusul untuk bersamaku.

Berkat kemampuan penerawangan nada yang ku punya, alunan nada pun terjaga oleh si telinga. Aku tak menduga aku bisa. Aku pun terlena dengan mereka dalam irama dan nada. Ternyata ada sepasang mata terkesima. Aku bisa menerawang nada-nada ini namun aku tak bisa menerawang sepasang mata yang terkesima itu. Beberapa detik aku melirik, ternyata kamu yang membidik. Aku tak berkutik dan terus asik bersama barisan tuts musik.

Kakak yang ku harap tetap menjadi kakak, mendadak tiba di sisiku. Dia tak melakukan gerakan yang berarti. Jarinya pun tak melakukan akrobatik nada seperti pada resitalnya. Hanya nafasnya yang sayup ku dengar. Aku tetap asik dengan musik yang mengusik. Alunan untuk bait terakhir akan segara usai dan ‘ting’ itulah denting terakhir. Sekejap tangan tegap kakak bergerak dan mengelus helaian rambut yang telah ku tata sedemikian rupa. Aku sejenak melihat kearahnya sambil melempar senyum dan berkata,“Aku bisa memainkannya” ibu jarinya ikut tersenyum, dan tanpa sadar tanganku memeluknya.

Ketika sadarku tiba, aku teringat sepasang mata yang tadi sejenak terkesima, ya itu matamu yang diam-diam membidikku. Ternyata kamu masih di situ dan kini tatapanmu mendadak penuh pilu dan bibirmu berubah menjadi kelu. Kakiku seakan ingin bergerak kearahmu dan sejenak berseru, “kamu ?” namun pelukan yang tak sadar terlontar terbalas dengan pelukan yang semakin erat dari kakak. Dan sekali lagi aku curi tatapan untukmu, kau masih kelu.

Di waktu lain aku pun senang berada disitu untuk beradu menjajal penerawangan nadaku. Alunan dari pemetik favorit mampu ku gubah bersama barisan tuts mewah. Tiba-tiba masuk satu demi satu kawan-kawanku. Mereka hanya berlalu dan tak mengusikku. Mataku menangkap kamu(lagi) berdiri tegap sambil menatap. Aku masih beradu bersama media yang ada di depanku. Aku sejenak mencuri pandang kearahmu, tak ada tatapan sendu seperti yang lalu. Aku hanya bisa berseru dalam senyum untukmu. Ternyata kau pun sama seperti kakak yang suka mendadak hinggap tiba-tiba di sisku. Peraduan jariku terhenti karena kamu. Dan terlontar tatapan heranmu. Mendadak wajahku senada dengan kain yang membalut tubuhku, merah merona. Satu tanya terlontar darimu, “kenapa ?” aku menghela nafas malu dan kembali beradu bersama barisan tuts di depanku. Gubahan nada dari sang pemetik terbaik dapat aku bidik dan, “Aku bisa !”. Tanpa ku sadari sebuah tangan persahabatan hinggap diatas pundak dan senyumku pun tersontak diikuti sebuah peluk untukmu.

Dalam sebuah angan ada sebuah pelukan erat dari kakak yang melindungi dengan tangan tegapnya, darimu ada sebuah tepukan semangat yang selalu hinggap, dan ada sebuah dentingan yang ingin ku dendangkan.

By : Angelina RD, May 17th 2011, 22:11

Inspired by : dentingan dalam sebuah angan dan sebuah kebersamaan.

No comments:

Post a Comment